Stranger in War adalah project Web Comic yang sedang digarap oleh Green
Leaper. Mengingat Green Leaper masih belum pintar menggambar, dia
memutuskan untuk mengupload naskahnya terlebih dahulu dalam bentuk
cerita.
Part sebelumnya, Lightshot terbangun tanpa ingatan apapun di tengah-tengah hutan kematian dan membantu sekelompok orang tak dikenalinya melawan sesosok monster. Sebagai balasan, orang-orang tersebut membantunya keluar dari hutan tersebut dan memperkejakannya pada Alicia atau Alice.
Selamat membaca! (Iya, gue tau ga ada gambar. Itu karena gue ga bisa menemukan gambar yang sangat cocok)
Aku telah menghabiskan waktu seminggu tinggal bersama Alice. Dia memang gila, tetapi dia sangat baik dan bisa diandalkan. Sebenarnya aku terkejut begitu mengetahui penginapan yang dimilikinya ini ternyata didirikan dan dijalankan olehnya sebatang kara.
Aku tidak mau menjadi beban dan membantunya di penginapan semampuku. Memang penginapan ini berada di tengah-tengah jalan yang kosong dan dekat dengan hutan kematian tetapi sejumlah orang yang lewat biasanya mampi dan menginap. Terkadang sejumlah petualang dan orang-orang pemberani menginap di sini untuk berpetualang di hutan kematian.
Aku pernah beberapa kali keluar dan mencari tau daerah sekitar sini. Selain hutan kematian yang dengan jelas bisa kulihat dengan mata kepalaku, aku diberi tau oleh Alice jika ada sebuah desa yang berjarak 1 hari perjalanan dengan kuda.
Kemarin kami didatangi oleh sejumlah pasukan tetapi berbeda dengan kelompok yang menemukanku di hutan kematian, orang-orang ini memiliki logo yang berbeda... Logo yang mereka miliki menyerupai sebuah kepala naga dan orang-orang ini bersenjata lebih lengkap dibandingkan kelompok yang menemukanku. Mereka juga terlihat seperti orang-orang terlatih dan juga sangat kasar. Beruntung mereka tidak begitu lama, aku hampir saja mengeluarkan senjataku untuk menembaki mereka karena sudah sangat kasar pada Alice. Yah... Beruntung Alice terlalu gila untuk membuat mereka betah.
"Sayaaaaanggg!!!!" teriak Alice memanggilku
"Berhentilah memanggilku seperti itu Alice" balasku sambil membersihkan meja
Alice berlari menjinjit menghampiriku. Kadang-kadang dia berputar-putar dan bergerak seperti seorang penari professional lalu kembali menjinjit mendekatiku dengan wajah yang polos. Dia menyodorkan selembar kertas padaku.
Aku memperhatikan keras tersebut. Sepertinya ini adalah surat. Tulisan tangan Alice begitu jelek hingga aku tidak bisa benar-benar memahami apa yang coba ditulisnya. Aku tidak pernah mau berbicara banyak tentang tulisannya karena ujung-ujungnya, aku akan diomeli.
"Alice menulis puisi! Bagus kan?" ucapnya
"Bagus sekali Alice. Bahkan aku tidak bisa menulis puisi" pijiku karena kasihan
"Kalau begitu tolong antarkan ini kepada si penjaga perpustakaan di desa ya!"
"Aku?" tanyaku
Alice bahkan tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya meletakan kertasnya di atas tanganku lalu berjalan gembira ~ melompat-lompat dengan satu kaki seperti anak kecil lalu berbaring di atas meja yang belum kubersihkan sambil tertawa dan berbicara sendirian.
Aku melipat kertas puisinya tadi dengan rapi lalu mengambil jaketku dan juga senapanku. Aku menarik napas sesaat. Kalau dipikir-pikir... Waktu perjalanan ke desa kan 1 hari jika ditempuh dengan kuda.
"Alice, bagaimana cara mengendarai kuda?" tanyaku
"La~la~la!!! Hihihi... A~Lice sedang teerbaaaang!!! Hihihi"
Yep... Benar-benar tak bisa diharapkan. Alice sedang terbawa-bawa dalam fantasinya sendiri. Apakah tidak apa-apa dia kutinggalka begitu? Ugh... Bagaimanapun juga, aku harus lebih mengkhawatirkan diriku sendiri... Aku bahkan tidak tau cara menggunakan kuda.
Aku keluar dari dalam penginapan dan menyadari jika ada segerombolan orang sedang melewati penginapan. Mereka melambaikan tangan padaku, aku membalas dengan lambaian tangan. Mereka punya kereta kuda.
Aku berjalan dan mencoba menaiki kuda milik Alice tetapi gagal total. Kuda ini sama gilanya dengan Alice! Aku sama sekali tidak bisa memahami mereka berdua. Berkali-kali aku mencoba naik tetapi selalu saja jatuh dan ditendang. Beruntung semua tendangannya tidak pernah kena. Rombongan orang yang melewati penginapan tadi menertawaiku.
"Kau perlu tumpangan?" tanya salah satu dari mereka
"Ya, jika kalian tidak keberatan. Aku hanya perlu tumpangan sampai ke desa Whiterun" jawabku
"Naiklah!"
"Terimakasih!"
Aku menaiki salah satu kereta berkuda. Aku menyadari orang-orang dalam kereta kuda ini terlihat seperti penduduk sipil. Mereka membawa banyak barang di dalam kereta tetapi aku punya cukup tempat untuk duduk.
Diantara mereka ada seorang laki-laki yang sedikit lebih tua dariku sedang tertidur pulas dan 2 anak kecil; 1 laki-laki dan 1 perempuan. Mereka terlihat takut denganku dan mencoba bersembunyi di belakang barang-barang bawaan mereka. Aku tersenyum pada mereka lalu mengulurkan tanganku.
"Orang-orang memanggilku Lightshot. Salam kenal ya" sapaku
Kedua anak kecil ini masih terlalu takut. Tanganku tiba-tiba dijabat oleh laki-laki yang tadi tertidur pulas. Mungkin aku telah membangunkannya.
"Aku Smith, mereka berdua adalah anak-anakku. Timmy dan Alina" ucapnya
"Timmy dan Alina ya? Nama yang bagus" balasku
"Jadi... Lightshot ya? Kau dari mana? Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya"
"Ahahah... Sebenarnya aku tidak ingat apapun tentang diriku" jawabku
"Astaga... Nak, kau terlalu banyak menghabiskan waktu di tempat Alice"
Aku hanya menggaruk kepalaku sambil tertawa. Aku menghabiskan waktuku di konvoi ini bersama orang-orang ini. Dari percakapan kami, aku bisa memahami jika mereka rupanya adalah pengungsi dari kejauhan yang datang ke desa Whiterun untuk mencari perlindungan dan rumah baru. Tetapi dari siapa atau apa mereka melarikan diri? Aku tidak tau, mereka tidak mau membicarakannya.
Keluarga Smith cukup beruntung karena bisa melarikan diri dengan keluarga lengkap sementara sisa rombongan konvoi ini tidak lengkap. Ada anak-anak yang kabur dengan orang tua yang tak lengkap, ada juga orang tua yang kabur tanpa anak mereka. Sungguh nasib yang memprihatinkan.
Tetapi itu membuatku bertanya-tanya... Kekuatan mengerikan macam apa yang mampu membuat para konvoi pengungsi ini sampai rela jauh-jauh pergi ke Whiterun? Apapun yang membuat mereka lari sudah pasti sangat kuat hingga mereka harus pergi sangat jauh hanya untuk aman dari kekuatan tersebut.
Part sebelumnya, Lightshot terbangun tanpa ingatan apapun di tengah-tengah hutan kematian dan membantu sekelompok orang tak dikenalinya melawan sesosok monster. Sebagai balasan, orang-orang tersebut membantunya keluar dari hutan tersebut dan memperkejakannya pada Alicia atau Alice.
Selamat membaca! (Iya, gue tau ga ada gambar. Itu karena gue ga bisa menemukan gambar yang sangat cocok)
**************
Stranger in War
Part-2
Aku dan Perempuan Berambut Hijau?
Aku telah menghabiskan waktu seminggu tinggal bersama Alice. Dia memang gila, tetapi dia sangat baik dan bisa diandalkan. Sebenarnya aku terkejut begitu mengetahui penginapan yang dimilikinya ini ternyata didirikan dan dijalankan olehnya sebatang kara.
Aku tidak mau menjadi beban dan membantunya di penginapan semampuku. Memang penginapan ini berada di tengah-tengah jalan yang kosong dan dekat dengan hutan kematian tetapi sejumlah orang yang lewat biasanya mampi dan menginap. Terkadang sejumlah petualang dan orang-orang pemberani menginap di sini untuk berpetualang di hutan kematian.
Aku pernah beberapa kali keluar dan mencari tau daerah sekitar sini. Selain hutan kematian yang dengan jelas bisa kulihat dengan mata kepalaku, aku diberi tau oleh Alice jika ada sebuah desa yang berjarak 1 hari perjalanan dengan kuda.
Kemarin kami didatangi oleh sejumlah pasukan tetapi berbeda dengan kelompok yang menemukanku di hutan kematian, orang-orang ini memiliki logo yang berbeda... Logo yang mereka miliki menyerupai sebuah kepala naga dan orang-orang ini bersenjata lebih lengkap dibandingkan kelompok yang menemukanku. Mereka juga terlihat seperti orang-orang terlatih dan juga sangat kasar. Beruntung mereka tidak begitu lama, aku hampir saja mengeluarkan senjataku untuk menembaki mereka karena sudah sangat kasar pada Alice. Yah... Beruntung Alice terlalu gila untuk membuat mereka betah.
"Sayaaaaanggg!!!!" teriak Alice memanggilku
"Berhentilah memanggilku seperti itu Alice" balasku sambil membersihkan meja
Alice berlari menjinjit menghampiriku. Kadang-kadang dia berputar-putar dan bergerak seperti seorang penari professional lalu kembali menjinjit mendekatiku dengan wajah yang polos. Dia menyodorkan selembar kertas padaku.
Aku memperhatikan keras tersebut. Sepertinya ini adalah surat. Tulisan tangan Alice begitu jelek hingga aku tidak bisa benar-benar memahami apa yang coba ditulisnya. Aku tidak pernah mau berbicara banyak tentang tulisannya karena ujung-ujungnya, aku akan diomeli.
"Alice menulis puisi! Bagus kan?" ucapnya
"Bagus sekali Alice. Bahkan aku tidak bisa menulis puisi" pijiku karena kasihan
"Kalau begitu tolong antarkan ini kepada si penjaga perpustakaan di desa ya!"
"Aku?" tanyaku
Alice bahkan tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya meletakan kertasnya di atas tanganku lalu berjalan gembira ~ melompat-lompat dengan satu kaki seperti anak kecil lalu berbaring di atas meja yang belum kubersihkan sambil tertawa dan berbicara sendirian.
Aku melipat kertas puisinya tadi dengan rapi lalu mengambil jaketku dan juga senapanku. Aku menarik napas sesaat. Kalau dipikir-pikir... Waktu perjalanan ke desa kan 1 hari jika ditempuh dengan kuda.
"Alice, bagaimana cara mengendarai kuda?" tanyaku
"La~la~la!!! Hihihi... A~Lice sedang teerbaaaang!!! Hihihi"
Yep... Benar-benar tak bisa diharapkan. Alice sedang terbawa-bawa dalam fantasinya sendiri. Apakah tidak apa-apa dia kutinggalka begitu? Ugh... Bagaimanapun juga, aku harus lebih mengkhawatirkan diriku sendiri... Aku bahkan tidak tau cara menggunakan kuda.
Aku keluar dari dalam penginapan dan menyadari jika ada segerombolan orang sedang melewati penginapan. Mereka melambaikan tangan padaku, aku membalas dengan lambaian tangan. Mereka punya kereta kuda.
Aku berjalan dan mencoba menaiki kuda milik Alice tetapi gagal total. Kuda ini sama gilanya dengan Alice! Aku sama sekali tidak bisa memahami mereka berdua. Berkali-kali aku mencoba naik tetapi selalu saja jatuh dan ditendang. Beruntung semua tendangannya tidak pernah kena. Rombongan orang yang melewati penginapan tadi menertawaiku.
"Kau perlu tumpangan?" tanya salah satu dari mereka
"Ya, jika kalian tidak keberatan. Aku hanya perlu tumpangan sampai ke desa Whiterun" jawabku
"Naiklah!"
"Terimakasih!"
Aku menaiki salah satu kereta berkuda. Aku menyadari orang-orang dalam kereta kuda ini terlihat seperti penduduk sipil. Mereka membawa banyak barang di dalam kereta tetapi aku punya cukup tempat untuk duduk.
Diantara mereka ada seorang laki-laki yang sedikit lebih tua dariku sedang tertidur pulas dan 2 anak kecil; 1 laki-laki dan 1 perempuan. Mereka terlihat takut denganku dan mencoba bersembunyi di belakang barang-barang bawaan mereka. Aku tersenyum pada mereka lalu mengulurkan tanganku.
"Orang-orang memanggilku Lightshot. Salam kenal ya" sapaku
Kedua anak kecil ini masih terlalu takut. Tanganku tiba-tiba dijabat oleh laki-laki yang tadi tertidur pulas. Mungkin aku telah membangunkannya.
"Aku Smith, mereka berdua adalah anak-anakku. Timmy dan Alina" ucapnya
"Timmy dan Alina ya? Nama yang bagus" balasku
"Jadi... Lightshot ya? Kau dari mana? Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya"
"Ahahah... Sebenarnya aku tidak ingat apapun tentang diriku" jawabku
"Astaga... Nak, kau terlalu banyak menghabiskan waktu di tempat Alice"
Aku hanya menggaruk kepalaku sambil tertawa. Aku menghabiskan waktuku di konvoi ini bersama orang-orang ini. Dari percakapan kami, aku bisa memahami jika mereka rupanya adalah pengungsi dari kejauhan yang datang ke desa Whiterun untuk mencari perlindungan dan rumah baru. Tetapi dari siapa atau apa mereka melarikan diri? Aku tidak tau, mereka tidak mau membicarakannya.
Keluarga Smith cukup beruntung karena bisa melarikan diri dengan keluarga lengkap sementara sisa rombongan konvoi ini tidak lengkap. Ada anak-anak yang kabur dengan orang tua yang tak lengkap, ada juga orang tua yang kabur tanpa anak mereka. Sungguh nasib yang memprihatinkan.
Tetapi itu membuatku bertanya-tanya... Kekuatan mengerikan macam apa yang mampu membuat para konvoi pengungsi ini sampai rela jauh-jauh pergi ke Whiterun? Apapun yang membuat mereka lari sudah pasti sangat kuat hingga mereka harus pergi sangat jauh hanya untuk aman dari kekuatan tersebut.
*********
1 Hari perjalanan... Kami akhirnya tiba di Whiterun. Aku turun dari konvoi dan berpisah dengan mereka sambil mengucapkan rasa terimakasihku. Sungguh, mereka sangat baik, meskipun mereka mengungsi mereka mau mengijinkanku untuk menumpang di konvoi mereka.
Desa Whiterun... Haah... Lebih ramai dari yang kudengar dari Alice. Desa yang dikelilingi oleh padang rumput hijau yang luas dan memiliki tembok yang sangat tinggi sebagai pemisah antara tempat tinggal manusia dengan alam yang buas.
Jalanan yang dibuat dari batu ini lumayan bagus tetapi entah kenapa aku merasa ini sangat ketinggalan jaman. Bau roti yang dipanggang dapat dicium dan teriakan-teriakan para penjual di distrik pasar dapat kudengar.
Desa ini benar-benar hidup. Tak heran kenapa para pengungsi lari ke sini. Tetapi apakah mereka akan baik-baik saja? Mereka baru saja melalui perjalanan yang berat. Kuharap aku bisa membantu mereka tetapi apa yang bisa kulakukan sekarang? Identitas saja aku tak punya.
Aku menghabiskan waktu beberapa menit berjalan-jalan di desa bertanya-tanya pada penduduk tentang perpustakaan hingga akhirnya aku menginjakan kakiku di depan sebuah gedung besar di tengah-tengah desa.
Gedung bertingkat 3 ini jauh lebih besar dan megah dari gedung manapun di desa ini. Aku yakin pasti di dalamnya ada banyak buku. Aku berhenti sesaat untuk mengagumi sisi luar gedung ini sebelum akhirnya masuk ke dalam gedung ini.
Begitu aku masuk, aku melihat seorang perempuan berkacamata sedang membaca sebuah buku di meja yang berhadapan dengan pintu masuk. Karpet merah bertuliskan "Harap Tenang dan Bacalah Buku" membentuk sebuah jalan menuju meja tersebut.
Aku mendekati perempuan tersebut. Dia menatapku untuk sesaat lalu mengerutkan dahinya seperti orang yang sedang melihat alien.
"Ahm... Hai" sapaku. "Uhm... Apakah aku bisa bertemu dengan penjaga perpustakaan di sini?"
"Aku orang yang kau cari... Dan kau adalah?"
"Orang-orang memanggilku Lightshot Alice mengutusku untuk mengirimkan ini padamu"
Aku memberikan surat yang ditulis Alice pada perempuan ini. Dia membacanya sesaat. Beberapa kali aku melihat air matanya keluar dan dia mengusap air matanya dengan beberapa tissue.
"Apa kau kenal perempuan itu?" tanya penjaga perpustakaan padaku sambil mengucak-ngucak matanya
"Tidak juga... Aku hanya tinggal untuk sementara di tempatnya" jawabku
"Aku kagum matamu masih bagus. Kusarankan untuk jangan membaca tulisannya terlalu lama, matamu akan rusak"
Aku hanya tertawa kecil-kecilan mendengar balasan itu. Sebenarnya... Mataku juga sakit tiap kali mencoba membaca tulisan Alice. Ini membuatku sedikit memikirkan tentang Alice, tentang bagaimana dia bisa gila seperti itu dan apakah dia sangat terkenal karena kegilaanya?
Terserah... Sekarang tugasku sudah selesai dan mungkin sebelum aku pergi meninggalkan tempat ini kupikir akan lebih baik jika aku membaca sedikit buku. Aku tidak tau apa-apa sama sekali dan bertanya pada orang-orang sudah pasti akan membuatku ditertawakan banyak orang. Jika aku membaca buku, mungkin saja aku bisa mengingat masa laluku... Tentang apa yang terjadi atau bagaimana aku ada di sini atau siapa diriku sebenarnya.
"Apakah di sini ada buku yang menjelaskan segala sesuatu tentang dunia ini?" tanyaku
"Kau ada di perpustakaan terbesar orang asing. Kau bisa menemukan buku tentang apapun di sini. Mulai dari buku untuk bayi bahkan hingga buku yang telah ditemukan ratusan tahun yang lalu" jawab penjaga perpustakaan dengan bangga
Aku memperhatikan rak-rak buku di sekelilingku. Di masing-masing rak sepertinya ada tertulis kategori buku. Mungkin aku harus mulai dengan geografi. Aku bahkan masih belum tau aku berada di mana.
Aku berjalan menghampiri rak buku Geografi yang berada di bagian paling belakang pojok gedung lantai 1. Sungguh! Perpustakaan ini terlalu luas! Kemanapun aku melihat hanya ada rak-rak buku dan tempat membaca yang kosong.
Buku-buku di sini tertata sangat rapi dan masih dalam kondisi sangat bagus. Bahkan mereka baunya sangat harum. Penjaga perpustakaan tadi pasti sangat rajin memeriksa kondisi buku sebanyak ini.
Aku mengambil buku peta dunia yang ada pada salah satu rak dan berjalan menuju tempat membaca terdekat. Saat aku mendekati tempat membaca aku melihat ada seseorang yang kukenal sedang duduk membaca atlas juga.
Dia adalah perempuan berambut pendek tempo hari yang kutemui di hutan kematian. Di sebelahnya terdapat begitu banyak tumpukan buku berbagai subjek dan dia terlihat sangat serius membaca. Aku duduk di dekatnya dan mulai membuka atlas juga.
Aku hampir terkena serangan jantung begitu aku menyadari atlas ini... Berbeda dari atlas yang ada di ingatanku... Tidak... Ini bukanlah peta dunia yang kukenal! Apa ini? Tidak ada satupun benua ataupun daratan yang kukenal.
Meskipun aku kehilangan ingatan tetapi aku merasa sangat yakin atlas ini terlihat sangat berbeda jauh dari apa yang kuharapkan seolah-olah aku pernah membaca atlas dan atlas yang kubaca sebelum yang ini isinya berbeda jauh...
Kepalaku terasa sakit lagi seperti akan mau meledak. Aku memegang kepalaku untuk sesaat. Ugh... Apa yang terjadi?
"Apakah melihat peta membuatmu ingat sesuatu?"
Suara tersebut menarik perhatianku. Perempuan berambut pendek yang tadi kini sedang menatapku. Aku hanya menganggukan kepalaku sedikit.
"Ya... Terasa seperti peta dunia yang kulihat berbeda jauh dari yang kuingat tapi setidaknya kini aku tau aku di pulau Zergia" jawabku
"Mungkin itu karena kau lupa ingatan" balasnya. "Jadi, bagaimana lukamu? Apakah Alice mengurusmu dengan baik?"
"Sudah baikan. Terimakasih. Tentang Alice... Ya, dia mengurusku dengan baik. Dia sedikit gila, tetapi dia sangat baik"
Perempuan berambut pendek ini langsung tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku barusan. Dia menggelengkan kepalanya untuk sesaat sambil tersenyum lebar.
"Kau suka membaca buku ya?" tanyaku sambil memperhatikan banyaknya buku yang ada di sampingnya
"Begitulah... Terkadang aku membaca karena aku ingin memperbaiki beberapa hal" jawabnya sambil membalikan lembaran berikut
"Memperbaiki beberapa hal? Maksudmu seperti opini-opini yang tertulis di buku?"
Dia menganggukan kepalanya. Dia membuka halaman atlasku yang menunjukan keseluruhan dunia padaku lalu dia menunjuk pada tepian gambar tersebut.
"Katakan... Apakah kau percaya jika dunia ini datar?" tanya dirinya padaku
"Hah? Dunia ini tidak datar" jawabku. "Dunia ini kan lingkaran"
Mendengar jawabanku, dia terlihat senang. Bola matanya sedikit lebar dan ekspresinya menjadi penuh semangat. Dia mendekatkan wajahnya padaku.
"Kau serius? Kau... Tidak berbohong kan?" tanya dirinya dengan senyuman lebar
"Aku memang serius... Itu adalah pengetahuan dasar. Dunia itu tidak datar"
Tiba-tiba saja aku merasa seperti ada sesuatu yang menyengat di dalam pikiranku. Ilmu pengetahuan dasar? Dunia itu datar? Apa orang-orang di dunia ini percaya jika dunia itu datar? Aneh, seingatku pelajaran dasar yang pernah kudapat mengatakan jika dunia itu bundar. Aku bisa mengingat sedikit gambar samar-samar sebuah buku pelajaran yang pernah kubaca waktu aku kecil... Sebuah buku pelajaran SD.
Ugh, memang tidak memiliki hubungan dengan kondisiku yang sekarang tetapi setidaknya aku bisa mengingat masa SDku sedikit meskipun itu hanya sebuah gambaran kasar cover buku.
"Kau tau... Aku selalu punya impian yang gila" ucap perempuan berambut pendek yang tadi
"Ya kalau begitu wujudkan" responku santai
"Kau tidak menertawaiku?" balasnya terkejut
"Untuk apa aku harus menertawaimu? Apa semua orang yang kau temui selalu menertawaimu?"
Perempuan berambut pendek ini sedikit menundukan kepalanya sambil melihat ke arah lain. Tak lama kemudian dia kembali mentapku dengan tatapan sedikit lesu dan tak penuh semangat.
"Ya... Kau tau? Yang kau pikul itu? Itu yang dinamakan dengan teknologi kan?" tanya perempuan ini
Aku meletakan senapanku di atas meja. Perempuan ini memperhatikannya dengan sangat teliti dan seksama. Entah kenapa, aku tiba-tiba punya banyak kata-kata yang bisa kuucapkan tentang senapanku ini.
"Senapanku ini kan? Ya. Ini adalah Karbin-95. Ringan, akurat, dan bisa beroperasi dengan baik hampir di segala kondisi cuaca ataupu medan" ucapku
Tanpa kusadari, aku telah berbicara panjang lebar tentang senapanku ini. Mulai dari detail yang paling umum hingga yang paling spesifik. Di sini aku sadar, mungkin aku telah lupa ingatan tetapi alam bawah sadarku dengan sendirinya masih menyimpan ingatan tersebut.
Perempuan berambut pendek ini mendengarkan penjelasanku dengan cermat. Sepertinya tidak ada satupun hal yang tidak diperhatikannya. Meskipun banyak jargon yang tak dipahaminya, dia tetap memperhatikanku dengan serius.
"C-canggihnya... Ini di luar kemampuan siapapun di era ini untuk memproduksinya... Apa kau ini dari masa depan atau semacamnya?" tanya dia
"Mana kutau? Aku sendiri tidak ingat apa-apa tentang identitasku" balasku
Dari kejauhan, kami mendengar suara langkah kaki orang berlari. Tentu saja kami bisa mendengarnya dengan sangat jelas! Pengunjung perpustakaan ini hanyalah kami berdua jadi memang suasananya sangat sepi.
Ternyata yang menyebabkan kegaduhan itu adalah si penjaga perpustakaan. Dia berlari menghampiri kami dengan nafas yang tidak teratur.
"Winda? Ada apa?" tanya perempuan berambut pendek ini
"Empire... Pasukan Empire sedang memasuki desa!" jawab si penjaga perpustakaan setelah mengambil nafas sesaat
"Yang benar saja?!"
"Saat ini mereka sedang mengumpulkan para pengungsi di alun-alun desa! Mereka akan mengeksekusi para pengungsi!" lapor Winda, si penjaga perpustakaan
Perempuan berambut pendek yang bersamaku ini mengepalkan kedua tangannya dan memukul meja. Wajahnya terlihat sangat kesal dan marah. Dia berlari keluar dengan Winda mengikutinya dari belakang. Aku memikul senapanku dan berlari menyusul mereka.
Mengeksekusi para pengungsi? Apa itu berarti Smith dan anak-anaknya akan... Tidak! Tidak, tidak! Ini tidak boleh terjadi... Siapa orang-orang yang disebut Empire ini? Kenapa mereka mau mengeksekusi para pengungsi? Apakah mereka adalah orang-orang yang membuat para pengungsi kabur sampai ke sini?
Terserah... Sekarang tugasku sudah selesai dan mungkin sebelum aku pergi meninggalkan tempat ini kupikir akan lebih baik jika aku membaca sedikit buku. Aku tidak tau apa-apa sama sekali dan bertanya pada orang-orang sudah pasti akan membuatku ditertawakan banyak orang. Jika aku membaca buku, mungkin saja aku bisa mengingat masa laluku... Tentang apa yang terjadi atau bagaimana aku ada di sini atau siapa diriku sebenarnya.
"Apakah di sini ada buku yang menjelaskan segala sesuatu tentang dunia ini?" tanyaku
"Kau ada di perpustakaan terbesar orang asing. Kau bisa menemukan buku tentang apapun di sini. Mulai dari buku untuk bayi bahkan hingga buku yang telah ditemukan ratusan tahun yang lalu" jawab penjaga perpustakaan dengan bangga
Aku memperhatikan rak-rak buku di sekelilingku. Di masing-masing rak sepertinya ada tertulis kategori buku. Mungkin aku harus mulai dengan geografi. Aku bahkan masih belum tau aku berada di mana.
Aku berjalan menghampiri rak buku Geografi yang berada di bagian paling belakang pojok gedung lantai 1. Sungguh! Perpustakaan ini terlalu luas! Kemanapun aku melihat hanya ada rak-rak buku dan tempat membaca yang kosong.
Buku-buku di sini tertata sangat rapi dan masih dalam kondisi sangat bagus. Bahkan mereka baunya sangat harum. Penjaga perpustakaan tadi pasti sangat rajin memeriksa kondisi buku sebanyak ini.
Aku mengambil buku peta dunia yang ada pada salah satu rak dan berjalan menuju tempat membaca terdekat. Saat aku mendekati tempat membaca aku melihat ada seseorang yang kukenal sedang duduk membaca atlas juga.
Dia adalah perempuan berambut pendek tempo hari yang kutemui di hutan kematian. Di sebelahnya terdapat begitu banyak tumpukan buku berbagai subjek dan dia terlihat sangat serius membaca. Aku duduk di dekatnya dan mulai membuka atlas juga.
Aku hampir terkena serangan jantung begitu aku menyadari atlas ini... Berbeda dari atlas yang ada di ingatanku... Tidak... Ini bukanlah peta dunia yang kukenal! Apa ini? Tidak ada satupun benua ataupun daratan yang kukenal.
Meskipun aku kehilangan ingatan tetapi aku merasa sangat yakin atlas ini terlihat sangat berbeda jauh dari apa yang kuharapkan seolah-olah aku pernah membaca atlas dan atlas yang kubaca sebelum yang ini isinya berbeda jauh...
Kepalaku terasa sakit lagi seperti akan mau meledak. Aku memegang kepalaku untuk sesaat. Ugh... Apa yang terjadi?
"Apakah melihat peta membuatmu ingat sesuatu?"
Suara tersebut menarik perhatianku. Perempuan berambut pendek yang tadi kini sedang menatapku. Aku hanya menganggukan kepalaku sedikit.
"Ya... Terasa seperti peta dunia yang kulihat berbeda jauh dari yang kuingat tapi setidaknya kini aku tau aku di pulau Zergia" jawabku
"Mungkin itu karena kau lupa ingatan" balasnya. "Jadi, bagaimana lukamu? Apakah Alice mengurusmu dengan baik?"
"Sudah baikan. Terimakasih. Tentang Alice... Ya, dia mengurusku dengan baik. Dia sedikit gila, tetapi dia sangat baik"
Perempuan berambut pendek ini langsung tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku barusan. Dia menggelengkan kepalanya untuk sesaat sambil tersenyum lebar.
"Kau suka membaca buku ya?" tanyaku sambil memperhatikan banyaknya buku yang ada di sampingnya
"Begitulah... Terkadang aku membaca karena aku ingin memperbaiki beberapa hal" jawabnya sambil membalikan lembaran berikut
"Memperbaiki beberapa hal? Maksudmu seperti opini-opini yang tertulis di buku?"
Dia menganggukan kepalanya. Dia membuka halaman atlasku yang menunjukan keseluruhan dunia padaku lalu dia menunjuk pada tepian gambar tersebut.
"Katakan... Apakah kau percaya jika dunia ini datar?" tanya dirinya padaku
"Hah? Dunia ini tidak datar" jawabku. "Dunia ini kan lingkaran"
Mendengar jawabanku, dia terlihat senang. Bola matanya sedikit lebar dan ekspresinya menjadi penuh semangat. Dia mendekatkan wajahnya padaku.
"Kau serius? Kau... Tidak berbohong kan?" tanya dirinya dengan senyuman lebar
"Aku memang serius... Itu adalah pengetahuan dasar. Dunia itu tidak datar"
Tiba-tiba saja aku merasa seperti ada sesuatu yang menyengat di dalam pikiranku. Ilmu pengetahuan dasar? Dunia itu datar? Apa orang-orang di dunia ini percaya jika dunia itu datar? Aneh, seingatku pelajaran dasar yang pernah kudapat mengatakan jika dunia itu bundar. Aku bisa mengingat sedikit gambar samar-samar sebuah buku pelajaran yang pernah kubaca waktu aku kecil... Sebuah buku pelajaran SD.
Ugh, memang tidak memiliki hubungan dengan kondisiku yang sekarang tetapi setidaknya aku bisa mengingat masa SDku sedikit meskipun itu hanya sebuah gambaran kasar cover buku.
"Kau tau... Aku selalu punya impian yang gila" ucap perempuan berambut pendek yang tadi
"Ya kalau begitu wujudkan" responku santai
"Kau tidak menertawaiku?" balasnya terkejut
"Untuk apa aku harus menertawaimu? Apa semua orang yang kau temui selalu menertawaimu?"
Perempuan berambut pendek ini sedikit menundukan kepalanya sambil melihat ke arah lain. Tak lama kemudian dia kembali mentapku dengan tatapan sedikit lesu dan tak penuh semangat.
"Ya... Kau tau? Yang kau pikul itu? Itu yang dinamakan dengan teknologi kan?" tanya perempuan ini
Aku meletakan senapanku di atas meja. Perempuan ini memperhatikannya dengan sangat teliti dan seksama. Entah kenapa, aku tiba-tiba punya banyak kata-kata yang bisa kuucapkan tentang senapanku ini.
"Senapanku ini kan? Ya. Ini adalah Karbin-95. Ringan, akurat, dan bisa beroperasi dengan baik hampir di segala kondisi cuaca ataupu medan" ucapku
Tanpa kusadari, aku telah berbicara panjang lebar tentang senapanku ini. Mulai dari detail yang paling umum hingga yang paling spesifik. Di sini aku sadar, mungkin aku telah lupa ingatan tetapi alam bawah sadarku dengan sendirinya masih menyimpan ingatan tersebut.
Perempuan berambut pendek ini mendengarkan penjelasanku dengan cermat. Sepertinya tidak ada satupun hal yang tidak diperhatikannya. Meskipun banyak jargon yang tak dipahaminya, dia tetap memperhatikanku dengan serius.
"C-canggihnya... Ini di luar kemampuan siapapun di era ini untuk memproduksinya... Apa kau ini dari masa depan atau semacamnya?" tanya dia
"Mana kutau? Aku sendiri tidak ingat apa-apa tentang identitasku" balasku
Dari kejauhan, kami mendengar suara langkah kaki orang berlari. Tentu saja kami bisa mendengarnya dengan sangat jelas! Pengunjung perpustakaan ini hanyalah kami berdua jadi memang suasananya sangat sepi.
Ternyata yang menyebabkan kegaduhan itu adalah si penjaga perpustakaan. Dia berlari menghampiri kami dengan nafas yang tidak teratur.
"Winda? Ada apa?" tanya perempuan berambut pendek ini
"Empire... Pasukan Empire sedang memasuki desa!" jawab si penjaga perpustakaan setelah mengambil nafas sesaat
"Yang benar saja?!"
"Saat ini mereka sedang mengumpulkan para pengungsi di alun-alun desa! Mereka akan mengeksekusi para pengungsi!" lapor Winda, si penjaga perpustakaan
Perempuan berambut pendek yang bersamaku ini mengepalkan kedua tangannya dan memukul meja. Wajahnya terlihat sangat kesal dan marah. Dia berlari keluar dengan Winda mengikutinya dari belakang. Aku memikul senapanku dan berlari menyusul mereka.
Mengeksekusi para pengungsi? Apa itu berarti Smith dan anak-anaknya akan... Tidak! Tidak, tidak! Ini tidak boleh terjadi... Siapa orang-orang yang disebut Empire ini? Kenapa mereka mau mengeksekusi para pengungsi? Apakah mereka adalah orang-orang yang membuat para pengungsi kabur sampai ke sini?
****************
Alun-alun kota tidak begitu jauh dari perpustakaan sehingga kami bertiga sangat cepat tiba di lokasi. Kami mengintip dari balik dinding sebuah gedung. Aku bisa melihat dengan jelas ada banyak orang-orang berkumpul mengelilingi alun-alun desa.
Di tengah-tengah alun-alun tersebut ada orang-orang dari konvoi pengungsi sedang berlutut. Aku melihat sejumlah orang kemungkinan prajurit yang memiliki logo kepala naga mengeksekusi sejumlah pengungsi.
"Cih... Barbar!" komentar perempuan berambut pendek yang bersamaku
"Aku sama sekali tidak mengerti 1 hal; kenapa kita bertiga mengendap-ngendap seperti ini?" tanyaku
Kaget melihatku dengan santai melihat begitu saja, Winda langsung menarikku kembali ke belakang dinding.
"Mereka adalah pasukan Empire" ucap Winda
"Empire?" tanyaku
"Orang-orang luar yang menjajah pulau ini" sambung perempuan berambut pendek
"Berarti... Kalian berdua ini pasti pemberontak atau semacamnya kan?" tanyaku
"Gih... Aku berbicara terlalu banyak" ucap perempuan berambut panjang sambil menepuk kepalanya
"Tenang saja, aku tidak melaporkan kalian atau semacamnya" ucapku
Aku kembali mengintip dan memperhatikan pasukan Empire. Huh... Beberapa dari wajah-wajah pasukan Empire ini sepertinya pernah kulihat mampir sebentar di penginapan milik Alice. Apa mereka sumber masalah yang menyebabkan para pengungsi melarikan diri?
Memang benar mereka terlihat seperti pasukan terlatih tetapi kenapa mereka harus menggunakan cara seperti ini? Apa mereka berniat untuk memojokkan para pemberontak?
Seorang prajurit Empire yang berbadan paling besar berdiri dan menunjuk pada salah satu pengungsi yang dipaksa berlutut. Mantelnya yang berwarna merah berkibar tertiup angin membuatnya terlihat sangat mengintimidasi tetapi juga lumayan keren pada saat bersamaan.
Seorang prajurit Empire yang berbadan paling besar berdiri dan menunjuk pada salah satu pengungsi yang dipaksa berlutut. Mantelnya yang berwarna merah berkibar tertiup angin membuatnya terlihat sangat mengintimidasi tetapi juga lumayan keren pada saat bersamaan.
"Lihatlah! Para pengkhianat yang membantu resistance!" teriaknya. "Empire ada di sini untuk kalian! Untuk mempersatukan kalian! Untuk melindungi kalian! Siapapun yang menghalangi Empire harus dimusnahkan! Tidak peduli apakah dia adalah anak-anak atau janda, atau orang lumpuh! Kalian hanya punya 2 pilihan; membantu kami atau melawan kami!"
Orang tersebut menghunus pedangnya yang sangat besar. Kilatan cahanya memantul dari bilah pedangnya ketika dia mengangkatnya ke udara.
"Kapten Omin... Dasar bajingan..." gumam perempuan berambut pendek yang bersamaku
Sebelum aku bisa bertanya, dia berlari keluar menuju alun-alun kota dengan kecepatan yang mengerikan dan tanpa ragu-ragu. Dia maju tanpa senjata?! Apa wanita itu sudah gila?!
Dia menerobos kerumunan dengan lincah. Tanpa berpikir, aku dengan cepat mengambil posisi untuk membidik. Aku membuka penutup scope dan memperhatikan dari kejauhan sementara Winda kebingungan melihat senapanku.
Saat perempuan berambut pendek tadi sudah sangat dekat, dia melompat menuju prajurit Empire yang akan menebas kepala pengungsi. Lompatannya benar-benar tinggi. Dia telah melompat melebihi tinggi pasukan Empire itu dan jika aku perhatikan dengan teliti, dari ujung jaketnya sebuah pisau belati keluar dan perempuan berambut pendek tadi dengan cepat menggengamnya.
Prajurit Empire yang diserangnya berhasil menghindar tetapi perempuan tadi tidak memberinya kesempatan untuk bereaksi. Dengan cepat dia memberi serangan kilat dengan pisau belati di kedua tangannya dan terkadang diikuti dengan tendangan ke pinggang, kepala, kaki dan tangan.
Prajurit Empire yang disekitar mulai bergegas membantu memburu perempuan tadi tetapi gerakannya itu... Sangat cepat dan lincah. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana dia menghindari semua serangan dengan gesit. Meskipun aku sangat khawatir padanya, aku jauh lebih khawatir pada pasukan Empire lain yang berlari menuju para pengungsi.
Menyadari apa yang akan terjadi, aku memutuskan untuk berlari masuk ke dalam rumah yang dekat dan memiliki jendela ke arah alun-alun kota. Aku mendobrak masuk dan itu membuat penghuninya takut. Beruntung Winda ada di belakangku. Dia menenangkan mereka sementara aku berlari secepat mungkin menuju lantai dan menemukan jendela yang mengarah pada alun-alun desa.
Tempat pilihanku ini sempurna! Jaraknya masih cukup jauh dari alun-alun tetapi aku mendapatkan pandangan yang jauh lebih jelas dari ketinggian gedung lantai 2. Orang-orang di alun-alun tidak mau membubarkan diri dan malah bersorak-sorak melihat pertarungan yang terjadi. Sepertinya mereka menolak keberadaan Empire di sini.
Aku sekali lagi mengambil posisi berlutut dan mulai membidik. Dugaanku benar, para pasukan Empire berniat mengeksekusi para pengungsi secepat mungkin. Tanpa waktu banyak untuk berpikir apakah tindakanku ini benar atau tidak, aku sudah menarik pelatuk senapanku.
DOR! Suara menggelegar dari senapanku membuat semua orang di alun-alun panik dan berlarian menyelamatkan diri. Satu tembakanku menumbangkan 2 pasukan Empire yang akan mengsekusi para pengungsi. 2 pasukan sisanya kelihatan kebingungan.
Aku mengkokang senapanku, membidik lagi, dan melepaskan tembakan lagi. DOR! Suara menggelegar dari senapanku bisa terdengar lagi.
Aku memindahkan arah bidikanku untuk membantu perempuan berambut pendek tadi yang kini sedang terpojok. Meskipun mendengar suara tembakanku 2 kali, pasukan Empire yang mengelilinginya tidak mau melarikan diri dan mengepung perempuan berambut pendek itu.
Aku mengkokang senapanku sekali lagi dan membidik kepala dari prajurit Empire yang disebut Kapten Owin. Saat dia akan megayunkan pedangnya kepada perempuan tadi, aku langsung menembak lagi.
DOR! Kapten Owinpun terjatuh ke tanah dan di saat pasukan Empire yang tersisa kaget, perempuan itu berdiri dan menghabisi sisa pasukan Empire sendirian dengan sangat efektif. Lihatlah bagaimana dia mengiris leher mereka!
Dia menendang kaki targetnya hingga targetnya berlutut lalu dia mengiris leher mereka dengan cepat. Terkadang dia menunggu lawannya menyerang lalu saat itu terjadi, dia menghindar ke belakang mereka dan menikam mereka dari belakang kepala.
Aku tidak tau belati macam apa yang dimiliki perempuan itu tetapi aku jadi ingin memilikinya juga. Belati yang bisa menembus helm baja seperti bagaimana pisau menembus mentega!
Aku menghela napasku dan keluar dari rumah ini bersama Winda. Tentu saja aku meminta maaf pada pemiliknya karena aku sudah masuk tanpa izin begitu saja. Aku dan Winda berjalan menyusul perempuan berambut pendek yang kini sedang duduk di tengah-tengah alun-alun kota dengan nafas yang terengah-engah.
Sekujur tubuhnya berkeringat. Mayat-mayat pasukan Empire tergeletak di sekitar alun-alun kota. Para pengungsi dan orang-orang kerumunan tadi keluar dari persembunyian mereka dan menatap perempuan itu.
"Suara gemuruh yang tadi..." ucapnya sambil menatapku. "Pasti kau kan?"
"Ahahaha.... Yah... Begitulah" jawabku
"Terimakasih karena sudah menyelamatkanku lagi Lightshot"
Aku cuma menganggukan kepalaku. Aku mengulurkan tanganku dan membantunya berdiri. Dia memperhatikan mayat dari prajurit Empire yang tergeletak tak bernyawa. Aku dengan jelas bisa melihat sebuah lubang kecil di kepalanya... Wow... Aku tidak tau jika aku bisa seakurat itu bahkan jika aku sendiri tidak ingat bagaimana caranya aku bisa seakurat ini.
Orang-orang dari kerumunan tadi kembali berkumpul dan memperhatikan mayat pasukan Empire yang tergeletak tak bernyawa. Mereka diam untuk sesaat dan berdiskusi satu sama lain. Rasa kagum bisa terlihat terpancar dari wajah mereka.
"Kapten Owin dari Empire yang kejam itu mati?" gumam salah satu warga
"Jika pasukan Empire bisa mati dibunuh berarti mereka juga bisa dilawan kan?" gumam warga yang lain
"Kita bisa... Kita bisa melawan Empire! Kita bisa mengusir para penjajah bengis itu dari tanah kita! JATUHLAH EMPIRE! KALIAN KUTU-KUTU BUSUK!"
Ekspresi bahagia mulai terlihat. Siapapun Empire ini... Mereka pasti sangat kejam hingga tidak disukai orang-orang. Aku membalikan badanku dan berjalan memeriksa kerumunan pengungsi yang juga terlihat bersemangat. Sama seperti kerumunan lainnya, mereka juga berbicara tentang menjatuhkan Empire hanya saja sedikit berbau balas dendam.
Aku memperhatikan mayat-mayat dari para pengungsi yang sudah dieksekusi yang tergeletak tak bernyawa di tengah-tengah alun-alun. Sial... Beberapa dari mereka adalah orang-orang yang kukenal... Smith... Timmy... Cih... Jika saja aku tidak ragu-ragu tadi dan bertindak lebih cepat, aku mungkin bisa mencegah kematian mereka semua...
"AYAAAH!!!!"
Aku mengalihan perhatianku pada seorang anak kecil perempuan yang berlari keluar dari kerumunan pengungsi. Air matanya mengalir deras. Dia langsung berlutut di depan mayat Smith dan Timmy. Dengan berlinangan air mata, dia memeluk mayat dari orang-orang yang dikenalnya ini.
"AYAAH!!! Hiks..... KAKAK!!!! Hiks... Huaaaaaaa!!!"
Dia menatapku. Matanya seolah-olah dia meminta pertolongan padaku. Aku menundukan kepalaku. Kerumunan orang-orang di sekitar yang tadinya bersemangat langsung terdiam. Alina... Satu-satunya dari keluarganya yang selamat... Maaf nak... Sepertinya aku tidak bisa berbuat banyak...
"Kakak Light! Hiks... Katakan padaku... Ayah dan kakak masih hidup kan? Mereka hanya tidur kan? Hiks..." tanya Alina
Aku hanya diam. Aku tidak berani untuk mengatakan "mereka telah tiada" atau semacamnya secara langsung kepadanya. Mulutku terasa sangat berat untuk mengatakan hal seperti itu pada Alina yang masih 7 tahun ini.
"Kakak Light! Hiks... Jawablah aku kakak Light! Hiks..."
Dia memukul-mukulku beberapa kali dengan kedua tangannya yang sangat kecil dan berlumuran darah dari mayat kedua keluarganya yang telah tewas. Dia meraung-raung penuh rasa tidak percaya sambil terus memukulku.
Aku mengangkat kepalaku dan memperhatikan orang-orang disekitarku apakah ada yang mengenalinya di sini. Semua orang hanya bisa menundukan kepala mereka masing-masing. Rasa duka dan prihatin terlihat terpancar dengan jelas. Separuh dari mereka terlihat geram juga sambil mengutuk Empire.
"Kakak Light! Hiks.... Kenapa kau tidak mau menjawab? Hiks... Ayah dan kakakku masih hidup kan? Hiks... Yang kulihat bukanlah mereka kan? Hiks... HUAAAA!!!"
Aku menepuk kepalanya perlahan dan membiarkan dia menangis. Dia masih meneriakan nama ayah dan Timmy.... Terkadang dia juga berteriak nama ibunya.
"Alina" panggilku. "Aku memang tidak punya apa-apa dan tidak mengingat apapun tentang diriku... Tetapi... Uhm.... Jika kau memerlukan bantuan, aku akan membantumu"
"Aku hanya ingin keluargaku! Hiks..." responnya padaku. "AKU TIDAK MAU MENINGGALKAN AYAH DAN KAKAK!!! Hiks..."
Aku mendengar sebuah langkah kaki mendekati kami. Ternyata perempuan berambut pendek yang tadi. Aku baru menyadari jika dia sedikit kotor karena debu terutama wajahnya. Dia duduk disamping Alina yang masih menangis di dekatku lalu menepuk pundaknya.
"Alina ya?" ucapnya
"Hiks... Iya... Hiks..."
"Alina... Apa kau... Punya sesuatu yang ingin kau capai nanti?"
"Aku... Hiks... Ingin menjadi penjelajah yang hebat... Aku ingin menjadi orang yang dibanggakan oleh keluarga" jawabnya "Tapi... Hiks... HUAAA!!!!"
Perempuan berambut pendek ini langsung memeluk Alina. Ada satu hal yang menarik perhatianku di sini... Perempuan berambut pendek ini sepertinya menahan tangisnya. Tidak, ini bukan tangis haru... Perasaanku mengatakan ada sesuatu hal yang berbeda tentang tangisan ini.
Orang tersebut menghunus pedangnya yang sangat besar. Kilatan cahanya memantul dari bilah pedangnya ketika dia mengangkatnya ke udara.
"Kapten Omin... Dasar bajingan..." gumam perempuan berambut pendek yang bersamaku
Sebelum aku bisa bertanya, dia berlari keluar menuju alun-alun kota dengan kecepatan yang mengerikan dan tanpa ragu-ragu. Dia maju tanpa senjata?! Apa wanita itu sudah gila?!
Dia menerobos kerumunan dengan lincah. Tanpa berpikir, aku dengan cepat mengambil posisi untuk membidik. Aku membuka penutup scope dan memperhatikan dari kejauhan sementara Winda kebingungan melihat senapanku.
Saat perempuan berambut pendek tadi sudah sangat dekat, dia melompat menuju prajurit Empire yang akan menebas kepala pengungsi. Lompatannya benar-benar tinggi. Dia telah melompat melebihi tinggi pasukan Empire itu dan jika aku perhatikan dengan teliti, dari ujung jaketnya sebuah pisau belati keluar dan perempuan berambut pendek tadi dengan cepat menggengamnya.
Prajurit Empire yang diserangnya berhasil menghindar tetapi perempuan tadi tidak memberinya kesempatan untuk bereaksi. Dengan cepat dia memberi serangan kilat dengan pisau belati di kedua tangannya dan terkadang diikuti dengan tendangan ke pinggang, kepala, kaki dan tangan.
Prajurit Empire yang disekitar mulai bergegas membantu memburu perempuan tadi tetapi gerakannya itu... Sangat cepat dan lincah. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana dia menghindari semua serangan dengan gesit. Meskipun aku sangat khawatir padanya, aku jauh lebih khawatir pada pasukan Empire lain yang berlari menuju para pengungsi.
Menyadari apa yang akan terjadi, aku memutuskan untuk berlari masuk ke dalam rumah yang dekat dan memiliki jendela ke arah alun-alun kota. Aku mendobrak masuk dan itu membuat penghuninya takut. Beruntung Winda ada di belakangku. Dia menenangkan mereka sementara aku berlari secepat mungkin menuju lantai dan menemukan jendela yang mengarah pada alun-alun desa.
Tempat pilihanku ini sempurna! Jaraknya masih cukup jauh dari alun-alun tetapi aku mendapatkan pandangan yang jauh lebih jelas dari ketinggian gedung lantai 2. Orang-orang di alun-alun tidak mau membubarkan diri dan malah bersorak-sorak melihat pertarungan yang terjadi. Sepertinya mereka menolak keberadaan Empire di sini.
Aku sekali lagi mengambil posisi berlutut dan mulai membidik. Dugaanku benar, para pasukan Empire berniat mengeksekusi para pengungsi secepat mungkin. Tanpa waktu banyak untuk berpikir apakah tindakanku ini benar atau tidak, aku sudah menarik pelatuk senapanku.
DOR! Suara menggelegar dari senapanku membuat semua orang di alun-alun panik dan berlarian menyelamatkan diri. Satu tembakanku menumbangkan 2 pasukan Empire yang akan mengsekusi para pengungsi. 2 pasukan sisanya kelihatan kebingungan.
Aku mengkokang senapanku, membidik lagi, dan melepaskan tembakan lagi. DOR! Suara menggelegar dari senapanku bisa terdengar lagi.
Aku memindahkan arah bidikanku untuk membantu perempuan berambut pendek tadi yang kini sedang terpojok. Meskipun mendengar suara tembakanku 2 kali, pasukan Empire yang mengelilinginya tidak mau melarikan diri dan mengepung perempuan berambut pendek itu.
Aku mengkokang senapanku sekali lagi dan membidik kepala dari prajurit Empire yang disebut Kapten Owin. Saat dia akan megayunkan pedangnya kepada perempuan tadi, aku langsung menembak lagi.
DOR! Kapten Owinpun terjatuh ke tanah dan di saat pasukan Empire yang tersisa kaget, perempuan itu berdiri dan menghabisi sisa pasukan Empire sendirian dengan sangat efektif. Lihatlah bagaimana dia mengiris leher mereka!
Dia menendang kaki targetnya hingga targetnya berlutut lalu dia mengiris leher mereka dengan cepat. Terkadang dia menunggu lawannya menyerang lalu saat itu terjadi, dia menghindar ke belakang mereka dan menikam mereka dari belakang kepala.
Aku tidak tau belati macam apa yang dimiliki perempuan itu tetapi aku jadi ingin memilikinya juga. Belati yang bisa menembus helm baja seperti bagaimana pisau menembus mentega!
Aku menghela napasku dan keluar dari rumah ini bersama Winda. Tentu saja aku meminta maaf pada pemiliknya karena aku sudah masuk tanpa izin begitu saja. Aku dan Winda berjalan menyusul perempuan berambut pendek yang kini sedang duduk di tengah-tengah alun-alun kota dengan nafas yang terengah-engah.
Sekujur tubuhnya berkeringat. Mayat-mayat pasukan Empire tergeletak di sekitar alun-alun kota. Para pengungsi dan orang-orang kerumunan tadi keluar dari persembunyian mereka dan menatap perempuan itu.
"Suara gemuruh yang tadi..." ucapnya sambil menatapku. "Pasti kau kan?"
"Ahahaha.... Yah... Begitulah" jawabku
"Terimakasih karena sudah menyelamatkanku lagi Lightshot"
Aku cuma menganggukan kepalaku. Aku mengulurkan tanganku dan membantunya berdiri. Dia memperhatikan mayat dari prajurit Empire yang tergeletak tak bernyawa. Aku dengan jelas bisa melihat sebuah lubang kecil di kepalanya... Wow... Aku tidak tau jika aku bisa seakurat itu bahkan jika aku sendiri tidak ingat bagaimana caranya aku bisa seakurat ini.
Orang-orang dari kerumunan tadi kembali berkumpul dan memperhatikan mayat pasukan Empire yang tergeletak tak bernyawa. Mereka diam untuk sesaat dan berdiskusi satu sama lain. Rasa kagum bisa terlihat terpancar dari wajah mereka.
"Kapten Owin dari Empire yang kejam itu mati?" gumam salah satu warga
"Jika pasukan Empire bisa mati dibunuh berarti mereka juga bisa dilawan kan?" gumam warga yang lain
"Kita bisa... Kita bisa melawan Empire! Kita bisa mengusir para penjajah bengis itu dari tanah kita! JATUHLAH EMPIRE! KALIAN KUTU-KUTU BUSUK!"
Ekspresi bahagia mulai terlihat. Siapapun Empire ini... Mereka pasti sangat kejam hingga tidak disukai orang-orang. Aku membalikan badanku dan berjalan memeriksa kerumunan pengungsi yang juga terlihat bersemangat. Sama seperti kerumunan lainnya, mereka juga berbicara tentang menjatuhkan Empire hanya saja sedikit berbau balas dendam.
Aku memperhatikan mayat-mayat dari para pengungsi yang sudah dieksekusi yang tergeletak tak bernyawa di tengah-tengah alun-alun. Sial... Beberapa dari mereka adalah orang-orang yang kukenal... Smith... Timmy... Cih... Jika saja aku tidak ragu-ragu tadi dan bertindak lebih cepat, aku mungkin bisa mencegah kematian mereka semua...
"AYAAAH!!!!"
Aku mengalihan perhatianku pada seorang anak kecil perempuan yang berlari keluar dari kerumunan pengungsi. Air matanya mengalir deras. Dia langsung berlutut di depan mayat Smith dan Timmy. Dengan berlinangan air mata, dia memeluk mayat dari orang-orang yang dikenalnya ini.
"AYAAH!!! Hiks..... KAKAK!!!! Hiks... Huaaaaaaa!!!"
Dia menatapku. Matanya seolah-olah dia meminta pertolongan padaku. Aku menundukan kepalaku. Kerumunan orang-orang di sekitar yang tadinya bersemangat langsung terdiam. Alina... Satu-satunya dari keluarganya yang selamat... Maaf nak... Sepertinya aku tidak bisa berbuat banyak...
"Kakak Light! Hiks... Katakan padaku... Ayah dan kakak masih hidup kan? Mereka hanya tidur kan? Hiks..." tanya Alina
Aku hanya diam. Aku tidak berani untuk mengatakan "mereka telah tiada" atau semacamnya secara langsung kepadanya. Mulutku terasa sangat berat untuk mengatakan hal seperti itu pada Alina yang masih 7 tahun ini.
"Kakak Light! Hiks... Jawablah aku kakak Light! Hiks..."
Dia memukul-mukulku beberapa kali dengan kedua tangannya yang sangat kecil dan berlumuran darah dari mayat kedua keluarganya yang telah tewas. Dia meraung-raung penuh rasa tidak percaya sambil terus memukulku.
Aku mengangkat kepalaku dan memperhatikan orang-orang disekitarku apakah ada yang mengenalinya di sini. Semua orang hanya bisa menundukan kepala mereka masing-masing. Rasa duka dan prihatin terlihat terpancar dengan jelas. Separuh dari mereka terlihat geram juga sambil mengutuk Empire.
"Kakak Light! Hiks.... Kenapa kau tidak mau menjawab? Hiks... Ayah dan kakakku masih hidup kan? Hiks... Yang kulihat bukanlah mereka kan? Hiks... HUAAAA!!!"
Aku menepuk kepalanya perlahan dan membiarkan dia menangis. Dia masih meneriakan nama ayah dan Timmy.... Terkadang dia juga berteriak nama ibunya.
"Alina" panggilku. "Aku memang tidak punya apa-apa dan tidak mengingat apapun tentang diriku... Tetapi... Uhm.... Jika kau memerlukan bantuan, aku akan membantumu"
"Aku hanya ingin keluargaku! Hiks..." responnya padaku. "AKU TIDAK MAU MENINGGALKAN AYAH DAN KAKAK!!! Hiks..."
Aku mendengar sebuah langkah kaki mendekati kami. Ternyata perempuan berambut pendek yang tadi. Aku baru menyadari jika dia sedikit kotor karena debu terutama wajahnya. Dia duduk disamping Alina yang masih menangis di dekatku lalu menepuk pundaknya.
"Alina ya?" ucapnya
"Hiks... Iya... Hiks..."
"Alina... Apa kau... Punya sesuatu yang ingin kau capai nanti?"
"Aku... Hiks... Ingin menjadi penjelajah yang hebat... Aku ingin menjadi orang yang dibanggakan oleh keluarga" jawabnya "Tapi... Hiks... HUAAA!!!!"
Perempuan berambut pendek ini langsung memeluk Alina. Ada satu hal yang menarik perhatianku di sini... Perempuan berambut pendek ini sepertinya menahan tangisnya. Tidak, ini bukan tangis haru... Perasaanku mengatakan ada sesuatu hal yang berbeda tentang tangisan ini.
**************
Malam harinya, aku bersiap-siap untuk meninggalkan desa Whiterun. Mayat-mayat yang berserakan telah dibersihkan dan diberikan pemakaman yang layak. Orang-orang di desa Whiterun dan juga para pengungsi telah menyatakan dengan tegas komitmen mereka untuk mendukung gerakan Resistance sepenuhnya.
Aku sudah mendapatkan sedikit gambaran apa yang terjadi di sini. Ada sebuah kerajaan yang bernama Empire datang dan menjajah pulau ini. Dengan menggunakan intimidasi dan rasa takut, Empire berniat untuk memutlakan kekuasaanya.
Lalu ada sekumpulan orang-orang yang dengan berani menentang Empire. Mereka adalah Resistance, orang-orang yang memiliki logo sebuah perisai dengan 2 buah pedang bersilangan.
Aku telah menjelaskan pada perempuan berambut pendek ini yang sudah bisa kupastikan dia adalah anggota Resistance berdasarkan aksinya hari ini dan logo pada jaketnya. Apa yang kujelaskan? Pasukan Empire yang tadi di alun-alun kota sebenarnya sudah ada di sekitar penginapan beberapa waktu yang lalu tetapi ke mana mereka pergi atau di mana mereka bersembunyi itu sama sekali tidak kuketahui.
Oh dan Alina... Anak yang malang. Dia kehilangan ibunya sebelum mengungsi dan sekarang dia telah kehilangan ayah dan juga kakaknya. Tidak ada yang mau mengurusinya dan juga dia tidak memiliki siapa-siapa lagi yang dikenalinya dan bahkan dia sampai harus menangis di depanku yang hanya orang asing...
Saat ini juga, aku sedang bersama perempuan berambut pendek tadi, Winda, dan Alina yang sedang tertidur pulas di dalam perpustakaan.
"Kuharap kau tak berniat menjadikannya anggota Resistance" ucapku
"Aku tidak berniat seperti itu... Aku akan membesarkannya sebagai seorang perempuan biasa. Dia akan tumbuh menjadi apa yang diinginkannya" balas perempuan berambut pendek bersamaku
"Kau berbicara seperti seorang ibu saja" candaku
"Ugh... Be-berisik kau Lightshot!" balasnya dengan muka sedikit malu. "Aku tidak mau membiarkan dia denganmu karena aku punya jauh lebih banyak kenalan yang bisa membantunya nanti"
Aku hanya tersenyum. Aku memikul senapanku lalu berdiri dari kursi. Aku menatap Alina untuk terakhir kalinya... Kuharap dia baik-baik saja.
"Kau mau pergi?" tanya perempuan berambut pendek padaku
"Begitulah... Alice pasti akan menakut-nakuti pelanggan tanpa diriku" jawabku
"Kalau begitu... Kenapa kau mau membantu kami tadi?" tanya perempuan berambut pendek
"Hm? Ya aku tidak bisa membiarkan mereka membunuh para warga kan?" jawabku
Aku menghela napas sesaat.
"Mereka punya orang-orang yang mereka sayangi. Orang-orang yang bisa membagi mimpi mereka... Maksudku... Kita kan punya mimpi dan tidak gunanya jika mimpi itu hanya disimpan untuk dirimu sendiri kan? Kau pasti pernah menceritakannya setidaknya sekali pada seseorang yang selalu mendukungnya kan? Ehm... Maksudku seperti... Erm... Bagaimana ya?" aku menggaruk kepalaku
Perempuan berambut pendek tadi tertawa kecil-kecilan. Aku hanya menatapnya saja ketika dia tertawa. Dia tersenyum lebar padaku. Entah kenapa... Senyuman ini manis sekali..
"Aku mengerti kok Lightshot..." ucapnya
Kenapa aku malah menjadi tidak karuan?! Senyuman itu.. Haish.... Aku menggelengkan kepalaku dan mencoba untuk tetap terlihat santai di hadapan mereka semua.
"Ka-kalau begitu aku pergi dulu" ucapku. "Sampaikan salamku pada Alina jika dia sudah terbangun"
"Oh Lightshot?" panggil perempuan berambut pendek tadi
"Hmn?"
"Violet"
Violet? Aku menaikan alis mataku. Huh... Nama itu sama sekali tidak mengingatkanku pada siapapun. Apa aku harus menemukan orang bernama Violet ini?
"Namaku adalah Violet. Anggota Resistance. Terimakasih lagi sudah menolongku..." ucapnya sambil masih tersenyum padaku. "Kau tau... Kau telah menolongku 2 kali dan juga sepertinya kau adalah orang yang sangat baik dan bisa dipercaya jadi... Kupikir sangat tidak sopan jika aku tidak menyebut namaku... Lagipula, aku ingin kau memanggilku dengan namaku lain kali"
"Ah... Ya... Salam kenal Violet" balasku
Aku melambaikan tanganku lalu berjalan keluar meninggalkan perpustakaan. Ah... Aku baru menyadari sesuatu... Perjalanan kembali ke penginapan akan memakan waktu 1 hari jika ditempuh dengan kuda.
Lupakan tentang usaha untuk mencari kuda! Aku bahkan sama sekali tidak bisa mendekati kuda sedikitpun! Agh!!! Bagaimana caranya aku akan pulang?!?!?! Alice akan benar-benar memarahiku karena pergi terlalu lama!!! AAAAAARRRGGHHH!!!! Kenapa aku merasa stress?!?!?!
Bersambung
************
Selanjutnya! Part-3!
Setelah mengenali Violet dan membantunya menyelamatkan para pengungsi, kini Lightshot hanya memiliki sedikit titik terang tentang dimana dirinya berada dan apa yang terjadi. Tetapi dia masih tidak bisa menemukan petunjuk apapun tentang dirinya!
Setelah mengenali Violet dan membantunya menyelamatkan para pengungsi, kini Lightshot hanya memiliki sedikit titik terang tentang dimana dirinya berada dan apa yang terjadi. Tetapi dia masih tidak bisa menemukan petunjuk apapun tentang dirinya!
lewat
BalasHapus