Episode sebelumnya!
Umm... Episode sebelumnya... Ehm... Ehhmm...... Aaaah! Aku tak bisa ingat apa-apa tentang episode sebelumnya! Kenapa aku bisa lupa seperti ini?!
Hei! Hei kakak! Iya! Kakak yang sedang membaca ini! Bisa tolong lihat episode sebelumnya tentang apa? Aku lupaa.... Aaaagh! Sudahlah! Pokoknya nikmatilah episode ini!
Umm... Episode sebelumnya... Ehm... Ehhmm...... Aaaah! Aku tak bisa ingat apa-apa tentang episode sebelumnya! Kenapa aku bisa lupa seperti ini?!
Hei! Hei kakak! Iya! Kakak yang sedang membaca ini! Bisa tolong lihat episode sebelumnya tentang apa? Aku lupaa.... Aaaagh! Sudahlah! Pokoknya nikmatilah episode ini!
*************
Aku Tak Ingin Melindungi Dunia Ini
Aku Tak Ingin Melindungi Dunia Ini
Part-7
Latihan Keras!
Pagi hari ini di desa Girhaim terasa sedikit berbeda dari biasanya. Jika biasanya pagi hari di desa Girhaim biasanya selalu disambut dengan kicauan burung yang terbang, pagi hari ini disambut oleh teriakan Stellarin dari hutan yang sangat menggelegar seperti halilintar.
"BANGUN! KALAU KAU TAK BISA MENGANKIS SERANGANKU SELANJUTNYA KEPALAMU AKAN MELAYANG!!!" teriak Stellarin
"Ta-tapi guru.... Hufft.... Tanganku tidak kuat lagi!" keluh Airine
"BERISIK! LAWANMU TIDAK AKAN BERHENTI HANYA KARENA TANGANMU KELELAHAN!"
Ya. Pagi hari ini, Airine menjalani latihannya bersama Stellarin. Zein, Reealna dan Aone datang karena khawatir jika Stellarin akan terlalu keras pada Airine. Sepertinya kekhawatiran mereka ada benarnya juga.
Baru saja latihan 2 jam, Airine sudah dipenuhi dengan debu-debu tanah dan beberapa rumput bahkan menempel pada pakaiannya sambil meninggalkan noda hijau. Sekujur tubuhnya dipenuhi keringat dan kedua tangan beserta kakinya terasa sangat keram. Nafasnya juga sudah tidak beraturan.
"Latihan macam apa ini?" gumam Reealna melihat kondisi Airine
"Apa harus membeberkannya padamu? Stellarin itu veteran perang.... Airine itu cuma orang gila yang kerjaanya berkhayal... Kau sudah paham maksudku kan?" ucap Zein
"Ya. Metode latihan yang dipakai Stellarin terlalu keras. Kenapa dia langsung menggunakan Desolator miliknya pada hari pertama latihan? Pedang kecil milik Airine tidak akan bisa menangkis Desolator"
Aone hanya diam menatap Stellarin sambil merinding. Melihat kondisi Airine yang terlalu kelelahan, Stellarin menghela nafas sebentar sambil menggelengkan kepalanya. Dia menancapkan Desolator di depannya.
"Ya ampun... Kau ini...." keluh Stellarin. "Kalau seperti ini terus, kau bisa benar-benar terbunuh dalam pertarungan sebenarnya"
Airine melihat Stellarin dan kemudian menundukan kepalanya ke tanah karena merasa gagal dan malu di depan idolanya sendiri.
"Maaf! Maaf! Aku terbiasa memegang panah dan jarang menggunakan pedang!" balas Airine
Stellarin memalingkan pandangannya ke arah Zein yang duduk di atas batang kayu yang telah jatuh sambil memakan jamur. Mengetahui Stellarin menatapnya, Zein menelan jamur yang ada di mulutnya lalu bangkit berdiri. Dengan santai dia mengambil sebuah kantong plastik kecil yang ada di sampingnya dan berjalan menghampiri Airine yang masih menundukan kepalanya di tanah.
"Yo" sapa Zein
Airine mengangat wajahnya. Zein mengeluarkan sebuah pil dan segelas air dari dalam kantong plastik kecil yang dibawanya.
"Makanlah itu. Aku meminta Zein untuk membuatkannya untukmu" ucap Stellarin
"Apa ini?" tanya Airine
"Obat penahan rasa sakit dan penambah stamina. Bisa menghilangkan rasa sakit dan juga rasa lelah untuk sementara waktu" jawab Zein
Meskipun Zein terlihat seperti orang bodoh, dia adalah petualang. Bisa dikatakan dia memiliki cukup pengetahuan tentang obat-obatan herbal dan mampu membuat pil sederhana hanya dengan memanfaatkan tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh.
Airine meminum pil yang diberikan Zein. Sesaat dia merasakan rasa pahit yang sangat luar biasa hingga dia hampir memuntahkannya. Zein menggelengkan kepala melihat reaksi itu.
"Kau pikir itu permen?" tanya Zein dengan sedikit nada meledek
"Aku benci permen durian..." jawab Airine
Sesaat setelah meminum pil tersebut. Airine merasa tubuhnya tak lemas lagi ataupun merasa sakit. Dia bangkit berdiri dengan rasa takjub. Zein berjalan kembali ke tempat duduknya semula. Dengan santai dia duduk di samping Aone dan Reealna yang terus mengawasi latihan Airine karena masih merasa khawatir.
"Karena kau mengatakan kau lebih terbiasa dengan busur panahmu, aku ingin melihat bagaimana kemampuanmu sedikit"
Stellarin mencabut Desolator yang tertancap di tanah dan memikulnya. Dia berjalan menghampiri sebuah pohon yang sangat besar. Dia memegang ganggang Desolator dan mulai mengayunkannya ke pohon tersebut.
ZRAT! ZRAT! Dengan mudah Stellarin membuat sasaran tembak pada pohon tersebut. Hasilnya sangat kasar dan tak semulus papan target latihan yang dimiliki oleh militer professional tetapi setidaknya ukiran lingkarannya cukup jelas bisa terlihat.
Dia berjalan ke belakang Airine dan menepuk pundaknya perlahan.
"Coba kulihat bagaimana kemampuanmu dalam memanah"
Airine menganggukan kepalanya dengan penuh semangat dan rasa percaya diri. Dia menarik sebuah anak panah dari tempat anak panah yang berada di belakangnya. Dia mulai membidik targetnya dan bahkan harus mengecilkan sedikit pupil matanya.
Hanya dari melihat gerak tubuhnya dan betapa tenangnya Airine membidik targetnya, Zein merasa terkesan karena perempuan itu sepertinya benar-benar sudah terbiasa.
Saat Airine melepaskan anak panahnya. Anak panahnya yang seharusnya melesat ke depan malah menghilang. Stellarin mengucak-ngucak matanya untuk memastikan jika matanya tidak gangguan karena dia tak bisa menemukan anak panah tadi dimanapun di sekitar pohon.
Reealna dan Aone juga kebingungan karena mereka yakin anak panah tersebut seharusnya melesat ke pohon yang ada di depan Airine.
"Em... Di sini" ucap Zein
Saat semua orang melihat ke arah Zein, mereka menyadari sebuah anak panah sudah menancap di pundak kiri Zein.
"Tu-TUNGGU DULU! Bagaimana bisa anak panah itu muncul di situ?!" tanya Aone. "Kita bertiga ada di belakang Airine kan?"
"Aaah! Maaf! Maaf! Aku tidak tahu bagaimana caranya panah itu bisa ada di sana!" ucap Airine terlihat malu
"Wooow.... Lain kali usahakan panahya menancap di kepalanya. Kali ini kuberikan 70 poin" puji Stellarin
"HOI! Kau ingin membunuhku ya?!" tegur Zein
Zein mencabut anak panah yang entah bagaimana menancap pada bahu kirinya. Reealna menggunakan mantra sucinya untuk menyembuhkan luka Zein tanpa bekas sedikitpun.
"Haah... Tidak ada harapan... Benar-benar tidak ada harapan..." ucap Zein. "Oi, perempuan setengah bugil, Airine sepertinya harus benar-benar berlatih dasar-dasarnya dulu"
"Ya, kau ada benarnya juga" balas Stellarin. "Airine, aku akan jujur padamu; kemampuanmu bertarung sangat buruk. Kuda-kudamu untuk bertarung terlihat tidak beraturan, caramu mengayunkan pedangmu juga terlalu terbuka dan lama"
Airine menundukan kepalanya dan merasa sangat malu karena dia telah gagal di hadapan idolanya sendiri. Saat Airine akan mengangkat suara, tiba-tiba saja kedua kaki dan tangannya terasa sangat keram. Sekujur tubuhnya terasa sangat kaku.
Pandangannya menjadi sangat buram dan telinganya dapat mendengar suara bising. Tak lama kemudian, dia mulai kehilangan keseimbangan tubuhnya beserta juga dengan kemampuannya untuk mendengar dan melihat. Setelah itu, dia langsung jatuh tersungkur di tanah. GLUDUG!
Stellarin, Airine dan Aone terkejut dan langsung berlari memeriksa kondisi Airine yang tak sadarkan diri. Zein hanya tenang karena dia tahu itu adalah efek dari pil yang diberikannya pada Airine tadi.
"Dia masih bernafas.... dia hanya pingsan" ucap Reealna
"Oi Zein! Kau tak meracuninya kan?" tanya Stellarin
"Tentu saja tidak. Pil yang kubuat tadi adalah pil yang akan memaksa tubuh seseorang untuk terus bergerak meskipun terluka parah atau terasa letih. Efek itu tidak bertahan lama tapi biasa digunakan di beberapa cabang militer. Tenang saja, dia pasti akan bangun nanti. Dia hanya kelelahan" jawab Zein
*************
Hari demi hari berlalu. Stellarin terus melatih Airine dengan sangat keras.... Sebenarnya bisa dikatakan terlalu keras. Zein, Aone dan Reealna terus datang menghadiri setiap sesi latihan karena merasa khawatir jika Stellarin akan sedikit terlalu keras pada muridnya.
Tiap malam, Zein dan kelompoknya menjalankan tugas mereka berpatroli, mengusir setiap serigala yang datang mengincar hewan peliharaan warga. Airine juga turut serta dalam tiap patroli mereka dan melihat sendiri bagaimana cara Stellarin; idolanya bertarung.
Secara diam-diam, Zein juga berkonsultasi pada Aone dan Reealna tentang undead yang pernah menyerang desa ini di masa lalu. Namun Aone dan Reealna sama sekali tak bisa merasakan akan kehadiran dari Necromancer maupun iblis yang mengendalikan undead. Bahkan Aone tak bisa merasakan adanya kehadiran undead di sekitar desa.
Sangat mustahil bagi sesosok undead bisa dengan bebas berjalan-jalan di sekitar ibukota Kerajaan tanpa diketahui pasukan Kerajaan maupun tanpa kendali dari Necromancer.
Tentu saja, necromancer yang sakti bisa mengendalikan undead dari jauh tetapi tak peduli sesakti apapun mereka; mereka selalu meninggalkan jejak ilmu hitam kemanapun undead peliharaan mereka pergi.
Dengan pemikiran seperti itu; Aone dan Reealna menyimpulkan jika Miltris mungkin berbohong soal undead sehingga Zein pada malam ini memutuskan untuk menyusup ke sebuah rumah tua besar yang terbengkalai yang berada di ujung Selatan desa.
Rumah tua tersebut terbuat dari kayu. Berlantai 2 dengan beberapa jendela di tiap sisinya. Karena sudah tak terurus, banyak sekali sarang laba-laba dan debu yang menempel di setiap sudut rumah.
Zein berjalan mendekati rumah tua tersebut. Saat dia berniat membuka pintu masuk, dia menyadari pintunya tidak terkunci dan sepertinya telah dibuka secara paksa oleh seseorang. Ini berarti satu hal...
"Ada orang yang pikirannya sama denganku" gumam Zein dalam hati
Dengan perlahan Zein membuka pintu tersebut dan melangkah masuk berusaha untuk tidak membuat suara sedikitpun. Tiap kali dia melangkah, debu-debu di tanah selalu bertebangan. Kondisi dalam rumah tua besar ini benar-benar memprihatinkan.
Tumbuhan-tumbuhan liar mulai menjalar ke dalam rumah. Perabotan-perabotan di dalam rumah ini acak-acakan dan berkarat. Laba-laba merayap di mana-mana. Bau udaranya juga lumayan tak sedap belum lagi dengan nyamuk yang bertebangan.
Zein memeriksa lantai 1 dari rumah tua ini untuk petunjuk tentang serangan undead maupun serikat pemmburu. Dia memang menemukan beberapa diary tua dengan logo serikat pemburu dan isi dari diary-diary tersebut mengindikasikan kalau memang benar desa ini pernah diterror oleh undead dulunya.
"Undead... Tanpa majikan... Huh... Pasti kerjaan iblis" pikir Zein. "Tetapi jika benar begitu, kenapa Aone dan Reealna tak bisa merasakan kehadiran mereka? Necromancer ataupun iblis, mereka suka jika ada mangsa yang sangat mudah disantap. Desa ini sudah memenuhi kriteria tersebut"
Zein mulai berpikir keras. Mungkinkah siapapun pemilik undead itu telah pergi? Tidak mungkin. Zein pernah berhadapan dengan sejumlah necromancer sebelumnya dan dia tahu persis mereka semua seperti apa.
Tiap necromancer itu berbeda tetapi juga sama. Mereka memiliki spesialisasi yang berbeda-beda tetapi mereka semua sama-sama gila dan tidak akan melewatkan santapan mudah.
Desa ini sama sekali tak memiliki bentuk pertahanan apapun. Tidak ada Priest ataupun Priestess di desa ini dan desa ini tak memiliki orang-orang yang pandai bertarung. Necromancer pasti akan memanfaatkan desa ini sebagai "santapan" untuk meneliti ilmu gelap mereka.
Zein menutup kedua matanya.
"Aku tahu kau di sana, Airine" ucapnya. "Tak perlu bersembunyi"
Zein membuka matanya. Airine merangkak keluar dari dalam lemari kayu. Dia menepuk-nepuk dirinya sehingga banyak sekali debu bertebangan darinya.
"Luar biasa sekali! Kau bisa mengetahui persembunyianku tanpa melihat" puji Airine
"Memiliki kemampuan untuk merasakan dirimu selalu diawasi adalah salah satu kunci kenapa Stellarin belum menghajarku habis-habisan" balas Zein
Airine melihat diary-diary tua yang dipegang oleh Zein. Rasa takut dan kesedihan yang luar biasa bisa terlihat dengan jelas terpancar dari raut wajah Airine. Melihat raut wajah Airine saja, Zein sudah bisa mengetahui jika cerita tentang undead yang pernah membunuh kedua orang tuanya Airine memang nyata dan bukan fiksi belaka.
"Aku tidak akan bertanya apa yang terjadi di masa lalu" jawab Zein
"...." Airine memalingkan wajahnya. "Tetapi kau ingin tahu kan?"
Airine berjalan mengambil sebuah kursi kayu yang bersandar di pojok ruangan. Dia membersihkan debu dari kursi kayu tersebut dengan sapu tangan miliknya kemudian duduk.
"Cerita yang kau dengar tentang serangan undead... Memang benar. Aku... Ada di sana waktu kejadian itu terjadi" Airine menundukan kepalanya.
Zein hanya diam meskipun dia ingin bertanya beberapa hal.
"Tch. Undead bajingan itu.... Sosok mayat berjalan raksasa setinggi rumah 3 tingkat... Aku masih ingat bagaimana dia menggengam kedua orang tuaku dengan tangan besarnya dan mengunyah mereka..."
Airine menggelengkan kepalanya berkali-kali, mencoba untuk menyingkirkan kenangan pahit tersebut dari kepalanya. Tetapi semakin dia mencoba untuk melupakannya, semakin melekat ingatan tersebut di dalam kepalanya.
Dia mengingat persis bagaimana kedua orangnya dikunyah layaknya makanan ringan oleh giant undead tersebut... Teriakan mereka.... Dan senyuman terakhir mereka... Airine bahkan mulai menangis.
"Andai saja... Andai saja waktu itu... Aku bisa menggunakan senjata... Aku pasti bisa... Bisa... Hiks... Ayah... Ibu..."
"Kau tak perlu menahannya di hadapanku" ucap Zein
Airine langsung menangis tersedu-sedu begitu Zein selesai berbicara. Kini Zein benar-benar paham kenapa Airine menjadi gila; dia terobsesi dengan pembalasan dendam pada undead itu tetapi dia sama sekali tak mampu berbuat apa-apa.
Tak heran kenapa dia mengidolakan Stellarin; perempuan setengah bugil itu sangat kuat dan membawa pedang yang kemungkinan beratnya 10kg. Dia kuat, veteran perang, mampu melakukan banyak hal yang dianggap mustahil untuk takaran perempuan.
"Tujuanmu berkhayal adalah untuk melarikan diri dari kenyataan kau tak bisa apa-apa kan?" kritik Zein
"Aku.... Aku tak bisa apa-apa.... Bercocok tanam tak bisa, memasak juga tak bisa... Orang-orang desa ini yang selalu mengurusku..." balas Airine
Zein menggelengkan kepalanya. Dia mulai merasa metode latihan yang digunakan Stellarin yang keras mungkin sedikit... "Kurang cocok" untuk orang seperti Airine.
"Boleh kutau nama lengkapmu?"
"Hiks... Airine Lumina" jawab Airine menghapus air matanya
Mendengar nama itu,, Zein mulai memeriksa satu per satu diary tua yang ditemukannya hingga dia menemukan diary tua milik kedua orang tua Airine. Dia mulai membaca isi kedua diary tua tersebut sementara Airine masih menangisi kepergian orang tuanya.
"Hmmm.... Ayahmu hanya pemburu biasa dan Ibumu tak lebih dari ibu-ibu biasa" ucap Zein. "Mereka seperti sampah masyarakat saja..."
Mendengar ucapan Zein barusan, Airine berhenti menangis.
"Yah... Tak heran kenapa anaknya juga sampah masyarakat" sambung Zein dengan santai. "Kau itu ibarat apel busuk sama seperti kedua orang tuamu"
"Berisik...." gerutu Airine
"Hmm? Lalu apa yang akan kau lakukan? Menangis terus seperti orang bodoh?"
Airine mengepalkan kedua tangannya.
"BERISIK!!! JANGAN MENGEJEK KELUARGAKU!!!"
Airine berdiri dan menghunus pedangnya. Rasa kesedihan yang luar biasa yang dirasakannya tadi telah menghilang dan digantikan dengan amarah dan kebencian pada Zein. Airine mulai mengayunkan pedangnya, tetapi Zein dengan mudah dapat menghindarinya sambil terus memanas-manasi Airine dengan hinaan.
"Ada apa rambut emas? Kau tak akan bisa mengenaiku jika mengayunkan pedangmu seperti monyet lho!" ejek Zein
"BERISIK!!!"
Airine mencoba menikam Zein di perut tetapi Zein dengan lincah menghindar ke samping dan menendang tangan kanan Airine yang memegang pedang. Satu tendangan tersebut membuat Airine melepaskan pedangnya. Dengan cepat, Zein melakukan tendangan memutar ke arah kepala Airine.
BUAHG!!! Tendangan memutar tersebut menghantap samping kepala Airine dengan kuat. Airine kehilangan keseimbangan dan jatuh tersungkur di tanah. Darah keluar dari hidung dan mulutnya. Saat Airine mencoba bangkit berdiri, Zein mengambil pedang milik Airine yang terjatuh di tanah dan dengan cepat; mengarakan sisi tajamnya ke leher Airine.
Mengetahui lehernya bisa ditebas, Airine berhenti bergerak. Saat itu juga, Airine langsung kembali merasa takut. Sekujur tubuhnya gemetaran karena takut mati.
"Dan ini adalah akhir dari duel kita hari ini" ucap Zein dengan santai
"Bunuh aku... kumohon..." pinta Airine
"Hah?"
"BUNUH AKU!!!"
Zein menggelengkan kepalanya.
"Segitu rendahnyakah kau menilai dirimu?" tanya Zein dengan kecewa. "Kalau kau ingin mati, bunuh saja dirimu sendiri dengan anak panahmu itu"
Airine mengambil sebuah anak panah dari tempat anak panah yang selalu ada di belakangnya. Zein menjauhkan sisi tajam pedang dan melangkah mundur sambil memperhatikan gerak-gerik Airine.
Perempuan berambut emas ini untuk sesaat terlihat sudah bertekad bunuh diri. Dia menutup matanya dan berniat menikam lehernya dengan anak panahnya sendiri. Namun kedua tangannya gemetaran dengan sangat hebat. Dalam hati kecilnya mulai timbul keraguan akan niatnya untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
"AAAAAAARRGHGH!!!" teriak Airine karena stress
Dia menancapkan anak panahnya ke tanah kemudian menundukan kepalanya di tanah; menangis tersedu-sedu sambil memukul-mukul lantai kayu dengan sangat kuat. Dia merasa sangat kesal tetapi juga sedih karena setelah pertarungan tadi, Airine merasa dirinya memang benar-bena tidak berguna dan tak bisa apa-apa.
Dia menangis dan berteriak-teriak untuk membuang semua rasa kesalnya dan kepedihan yang dirasakannya. Bagaimana tidak? Orang yang mengejek keluarganya dengan mudah dapat menang karnea dirinya tidak kompeten dalam bertarung.
Zein mengambil sarung pedang milik Airine dan menyimpan pedang Airine kembali pada sarung tersebut.
"Airine, pedang yang tumpul tidak akan bisa mengalahkan lawan" ucap Zein
Zein meletakan pedang milik Airine di tanah dan berjalan keluar.
"Oh, ngomong-ngomong...." Zein berbalik menatap Airine yang masih menangis di tanah. "Cara bertarungmu tadi lumayan lebih baik dari sebelumnya"
Zein kembali berjalan keluar meninggalkan Airine sendirian di dalam rumah tua itu; meratapi ketidakmampuannya dalam segala hal.
Zein tersenyum kecil sambil berjalan meninggalkan rumah tua tersebut.
"Aku mungkin sedikit keterlaluan tadi..." pikir Zein dalam hati
Airine melihat diary-diary tua yang dipegang oleh Zein. Rasa takut dan kesedihan yang luar biasa bisa terlihat dengan jelas terpancar dari raut wajah Airine. Melihat raut wajah Airine saja, Zein sudah bisa mengetahui jika cerita tentang undead yang pernah membunuh kedua orang tuanya Airine memang nyata dan bukan fiksi belaka.
"Aku tidak akan bertanya apa yang terjadi di masa lalu" jawab Zein
"...." Airine memalingkan wajahnya. "Tetapi kau ingin tahu kan?"
Airine berjalan mengambil sebuah kursi kayu yang bersandar di pojok ruangan. Dia membersihkan debu dari kursi kayu tersebut dengan sapu tangan miliknya kemudian duduk.
"Cerita yang kau dengar tentang serangan undead... Memang benar. Aku... Ada di sana waktu kejadian itu terjadi" Airine menundukan kepalanya.
Zein hanya diam meskipun dia ingin bertanya beberapa hal.
"Tch. Undead bajingan itu.... Sosok mayat berjalan raksasa setinggi rumah 3 tingkat... Aku masih ingat bagaimana dia menggengam kedua orang tuaku dengan tangan besarnya dan mengunyah mereka..."
Airine menggelengkan kepalanya berkali-kali, mencoba untuk menyingkirkan kenangan pahit tersebut dari kepalanya. Tetapi semakin dia mencoba untuk melupakannya, semakin melekat ingatan tersebut di dalam kepalanya.
Dia mengingat persis bagaimana kedua orangnya dikunyah layaknya makanan ringan oleh giant undead tersebut... Teriakan mereka.... Dan senyuman terakhir mereka... Airine bahkan mulai menangis.
"Andai saja... Andai saja waktu itu... Aku bisa menggunakan senjata... Aku pasti bisa... Bisa... Hiks... Ayah... Ibu..."
"Kau tak perlu menahannya di hadapanku" ucap Zein
Airine langsung menangis tersedu-sedu begitu Zein selesai berbicara. Kini Zein benar-benar paham kenapa Airine menjadi gila; dia terobsesi dengan pembalasan dendam pada undead itu tetapi dia sama sekali tak mampu berbuat apa-apa.
Tak heran kenapa dia mengidolakan Stellarin; perempuan setengah bugil itu sangat kuat dan membawa pedang yang kemungkinan beratnya 10kg. Dia kuat, veteran perang, mampu melakukan banyak hal yang dianggap mustahil untuk takaran perempuan.
"Tujuanmu berkhayal adalah untuk melarikan diri dari kenyataan kau tak bisa apa-apa kan?" kritik Zein
"Aku.... Aku tak bisa apa-apa.... Bercocok tanam tak bisa, memasak juga tak bisa... Orang-orang desa ini yang selalu mengurusku..." balas Airine
Zein menggelengkan kepalanya. Dia mulai merasa metode latihan yang digunakan Stellarin yang keras mungkin sedikit... "Kurang cocok" untuk orang seperti Airine.
"Boleh kutau nama lengkapmu?"
"Hiks... Airine Lumina" jawab Airine menghapus air matanya
Mendengar nama itu,, Zein mulai memeriksa satu per satu diary tua yang ditemukannya hingga dia menemukan diary tua milik kedua orang tua Airine. Dia mulai membaca isi kedua diary tua tersebut sementara Airine masih menangisi kepergian orang tuanya.
"Hmmm.... Ayahmu hanya pemburu biasa dan Ibumu tak lebih dari ibu-ibu biasa" ucap Zein. "Mereka seperti sampah masyarakat saja..."
Mendengar ucapan Zein barusan, Airine berhenti menangis.
"Yah... Tak heran kenapa anaknya juga sampah masyarakat" sambung Zein dengan santai. "Kau itu ibarat apel busuk sama seperti kedua orang tuamu"
"Berisik...." gerutu Airine
"Hmm? Lalu apa yang akan kau lakukan? Menangis terus seperti orang bodoh?"
Airine mengepalkan kedua tangannya.
"BERISIK!!! JANGAN MENGEJEK KELUARGAKU!!!"
Airine berdiri dan menghunus pedangnya. Rasa kesedihan yang luar biasa yang dirasakannya tadi telah menghilang dan digantikan dengan amarah dan kebencian pada Zein. Airine mulai mengayunkan pedangnya, tetapi Zein dengan mudah dapat menghindarinya sambil terus memanas-manasi Airine dengan hinaan.
"Ada apa rambut emas? Kau tak akan bisa mengenaiku jika mengayunkan pedangmu seperti monyet lho!" ejek Zein
"BERISIK!!!"
Airine mencoba menikam Zein di perut tetapi Zein dengan lincah menghindar ke samping dan menendang tangan kanan Airine yang memegang pedang. Satu tendangan tersebut membuat Airine melepaskan pedangnya. Dengan cepat, Zein melakukan tendangan memutar ke arah kepala Airine.
BUAHG!!! Tendangan memutar tersebut menghantap samping kepala Airine dengan kuat. Airine kehilangan keseimbangan dan jatuh tersungkur di tanah. Darah keluar dari hidung dan mulutnya. Saat Airine mencoba bangkit berdiri, Zein mengambil pedang milik Airine yang terjatuh di tanah dan dengan cepat; mengarakan sisi tajamnya ke leher Airine.
Mengetahui lehernya bisa ditebas, Airine berhenti bergerak. Saat itu juga, Airine langsung kembali merasa takut. Sekujur tubuhnya gemetaran karena takut mati.
"Dan ini adalah akhir dari duel kita hari ini" ucap Zein dengan santai
"Bunuh aku... kumohon..." pinta Airine
"Hah?"
"BUNUH AKU!!!"
Zein menggelengkan kepalanya.
"Segitu rendahnyakah kau menilai dirimu?" tanya Zein dengan kecewa. "Kalau kau ingin mati, bunuh saja dirimu sendiri dengan anak panahmu itu"
Airine mengambil sebuah anak panah dari tempat anak panah yang selalu ada di belakangnya. Zein menjauhkan sisi tajam pedang dan melangkah mundur sambil memperhatikan gerak-gerik Airine.
Perempuan berambut emas ini untuk sesaat terlihat sudah bertekad bunuh diri. Dia menutup matanya dan berniat menikam lehernya dengan anak panahnya sendiri. Namun kedua tangannya gemetaran dengan sangat hebat. Dalam hati kecilnya mulai timbul keraguan akan niatnya untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
"AAAAAAARRGHGH!!!" teriak Airine karena stress
Dia menancapkan anak panahnya ke tanah kemudian menundukan kepalanya di tanah; menangis tersedu-sedu sambil memukul-mukul lantai kayu dengan sangat kuat. Dia merasa sangat kesal tetapi juga sedih karena setelah pertarungan tadi, Airine merasa dirinya memang benar-bena tidak berguna dan tak bisa apa-apa.
Dia menangis dan berteriak-teriak untuk membuang semua rasa kesalnya dan kepedihan yang dirasakannya. Bagaimana tidak? Orang yang mengejek keluarganya dengan mudah dapat menang karnea dirinya tidak kompeten dalam bertarung.
Zein mengambil sarung pedang milik Airine dan menyimpan pedang Airine kembali pada sarung tersebut.
"Airine, pedang yang tumpul tidak akan bisa mengalahkan lawan" ucap Zein
Zein meletakan pedang milik Airine di tanah dan berjalan keluar.
"Oh, ngomong-ngomong...." Zein berbalik menatap Airine yang masih menangis di tanah. "Cara bertarungmu tadi lumayan lebih baik dari sebelumnya"
Zein kembali berjalan keluar meninggalkan Airine sendirian di dalam rumah tua itu; meratapi ketidakmampuannya dalam segala hal.
Zein tersenyum kecil sambil berjalan meninggalkan rumah tua tersebut.
"Aku mungkin sedikit keterlaluan tadi..." pikir Zein dalam hati
************
Bersambung
Episode selanjutnya!
Aaaah! Jahat! Jahat! Jahat! Tak kusangka jika Zein bisa sejahat itu pada perempuan! Bagaimana kalau Airine tidak mau datang ke latihan besok?!
Uggh... Belum lagi, aku mulai merasakan adanya energi negatif di udara.... Apakah ini... Energi negatif dari Airine?
Mungkin aku harus menunggu sampai episode berikutnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar