Rabu, 11 Oktober 2017

Sacred Tree Prologue

  Sekali lagi, dunia terancam terlempar ke dalam api perang dunia yang ke-2. Di saat-saat yang sangat sulit seperti ini, dunia mulai berdoa pada para Dewi, memohon keselamatan mereka dan juga tidak pecahnya perperangan.

Pada saat bersamaan, "Pohon Keramat"; pohon suci yang digunakan oleh pahlawan terdahulu untuk menghentikan kehancuran dunia dari iblis mulai menunjukan reaksi yang aneh. Apakah ini sebuah pertanda akan datangnya bencana mahadashyat ataukah pertanda akan datangnya iblis sekali lagi ke dunia ini?

Ini adalah kisah tentang seorang pemuda; Hildegard Verena Tyn yang sedang menjalani pelatihan untuk menjadi Holy Priestess Dewi Kehidupan Felica di dunia yang akan segera mengalami kekacauan terbesar yang pernah ada.




****************
Sacred Tree
Prologue
Awal dari Segalanya

  Seorang perempuan berlari secepat mungkin menyusuri jalanan ibukota yang penuh sesak dengan orang. Roknya yang panjang membuatnya kesulitan untuk bergerak diantara kerumunan tanpa harus kehilangan keseimbangan.

Setelah bersusah payah berdesak dengan kerumunan orang-orang di jalanan yang ramai, dia akhirnya tiba di depan sebuah rumah besar dengan sebuah workshop di samping rumah tersebut. Sambil menghela nafas sesaat, perempuan ini berjalan menghampiri pintu rumah yang bercat merah.

Dengan lembut dia menekan bel pada pintu tersebut. Tak lama kemudian, speaker yang ada di atas bel mengeluarkan suara laki-laki yang sedikit dalam.

  "Siapa?"

Perempuan ini menelan ludahnya dan menjawab dengan santai.

  "Ini aku, Tyn" ucapnya
  "Oho Tyn! Masuklah! Aku sedang di dalam workshop"
  "Baiklah Reitz"

Pintu rumah tersebut terbuka dengan sendirinya. Tyn melepaskan sendal yang dikenakannya dan berjalan masuk ke dalam rumah sambil menutup pintu dengan rapi. Kondisi dalam rumah yang lantainya terdiri dari kayu ini sangat sepi tetapi bagi Tyn, ini adalah hal yang biasa.

Teman masa kecilnya, Reitz sering bekerja di workshop miliknya sehingga tak heran rumahnya terkesan seperti tidak ada penghuninya.

Karena Tyn sering berkunjung ke rumahnay Reitz sejak kecil, dia sudah sangat familiar dengan seluk-beluk rumah Reitz yang sedikit amburadul kondisinya. Memang benar bagian dalam rumah Reitz berantakan dan hal itu membuat hati kecil Tyn tergerak untuk ingin membersihkan tetapi dia sendiri sedang terburu-buru pagi ini.

Dia berjalan dengan hati-hati supaya tidak menginjak barang-barang milik Reitz yang berserakan di tanah. Pintu workshopnya Reitz terhubung ke bagian ruang makan yang ada sedikit ke samping rumah. Tak perlu waktu lama bagi Tyn untuk menemukannya.

Ketika Tyn membuka pintu ke workshop, dia langsung melihat seorang laki-laki berambut hitam yang acak-acakan sedang membersihkan sebuah tongkat kayu. Di belakangnya, ada begitu banyak alat-alat elektronik yang merupakan buatan Reitz sendiri.

  "Reitz" panggilnya

Reitz memalingkan pandangannya pada Tyn. Sambil tersenyum, Reitz melambaikan tangannya pada Tyn untuk menyuruhnya datang mendekat.

Sambil mengabaikan aroma badan Reitz yang mirip seperti oli, Tyn tersenyum melihat tongkat sihir kayu yang ada di atas meja besi.

  "Barangmu sudah selesai"  ucap Reitz. "Cobalah, kuharap semuanya sesuai dengan keinginanmu"

Tyn mengambil tongkat tersebut. Begitu ringan tetapi kedua tangannya dengan mudah dapat mengalirkan kekuatan sihir pada tongkat tersebut.

  "Tidak, ini sudah sempurna kok" balasnya tersenyum manis
  "Tyn, kau ini salah satu pelanggan tetapku. Aku tidak tahu pekerjaan macam apa yang dilakukan oleh Holy Priestess dari Holy Order tapi apapun yang kau lakukan ingatlah jika senjatamu itu hanya kayu"

Tyn hanya menggaruk kepalanya sambil tersipu malu. Ini bukanlah pertama kalinya dia merusakan senjata miliknya yang hanya berupa kayu.

  "Habisnya... semua orang bertarung di depan untuk melindungiku jadi..."
  "Tyn, kau itu bahkan tidak bisa mengayunkan tombak kayu tanpa melukai dirimu sendiri ditambah lagi kau itu hanya bisa menggunakan sihir penyembuhan dan sihir suci. Sudah sewajarnya kau itu selalu ada di belakang" keluh Reitz menepuk kepalanya sendiri
  "Tapi aku juga ingin bertarung di depan" balas Tyn sedikit cemberut
  "Huuffft" Reitz menggelengkan kepalanya. "Kenapa kau begitu terobsesi dengan bertarung di barisan depan?"

Tyn menoleh ke arah lain. Tangan kirinya memegang roknya erat-erat untuk menahan dirinya supaya jangan teringat kenangan buruk yang penah terjadi padanya saat dia kecil. Melihat gerak-gerik Tyn, Reitz langsung menyadari jika pelanggannya ini menolak untuk menjawab pertanyaanya.

  "Ya sudahlah, tidak jadi masalah" sahutnya sedikit malas. "Aku dengar kau akan menerima tugas pertamamu di luar kota ya?"

Tyn tersenyum dan menganggukan kepalanya dengan semangat.

  "Benar! Bishop Reina sendiri yang memintaku!" ucapnya dengan semangat
  "Oho? Reina yang itu? Idolamu?"
  "Ya! Ya! Ya!" balas Tyn dengan mata berkilauan

Reina merupakan nama yang lumayan terkenal di kekaisaran Empire. Dia adalah salah satu orang yang memegang jabatan tinggi di dalam Holy Order; bishop. Reina juga dikenal sebagai ahli sihir dan kemampuannya bahkan mampu menyaingi para pengawal pribadi keluarga kaisar.

Bagi Tyn, Reina bukan hanya sosok yang berbakat dalam sihir saja, tetapi juga mampu menggunakan senjata dan bertempur di barisan depan. Tidak hanya itu, Reina juga merupakan sosok yang penuh percaya diri dan mampu mengambil keputusan yang rasional bahkan di dalam keadaan terdesak sekalipun berbeda dari Tyn yang pemalu dan tidak percaya diri dan tak berbakat.

  "Yah, kalau begitu tunggu sebentar"

Reitz berjalan menghampiri beberapa baju besi tipis yang tergeletak pada lemari di belakang. Dia mengambil salah satu baju tersebut dan memberikannya pada Tyn. Di luar dugaan Tyn, baju tersebut terasa sangat ringan bahkan jika jelas-jelas terbuat dari besi.

  "Sebelum kau mengenakan pakaian lain, kenakan itu dahulu. Setidaknya itu akan menghentikan goresan senjata tajam dan jika kau beruntung, mungkin juga bisa menghentikan tusukan langsung dari senjata tajam" ucap Reitz
  "Waaah! Terimakasih Reitz!" balas Tyn sedikit malu
  "Kau ini pelangganku spesialku dan juga kawanku. Mana mungkin aku mau kehilanganmu"

Tyn tersenyum sambil menundukan kepalanya karena malu. Jam tangannya tiba-tiba berbunyi. Dikejutkan dengan suara alarm jam tangannya sendiri, Tyn langsung sadar jika dia sudah terlambat.

  "Ah, aku harus pergi sekarang. Terimakasih Reitz!"
  "Yoooo, pastikan kau pulang dengan selamat" balas Reitz

Sambil tersenyum, Tyn membungkukan badannya sebagai ucapan terimakasih kemudian berlari keluar tergesa-gesa dan sempat menabrak tembok beberapa kali.

Sifatnya yang ceroboh dan kurang percaya diri adalah salah satu penyebab mengapa Reitz begitu khawatir dengannya. Dia hanya bisa berharap, Dewi yang disembah oleh Tyn akan melindungi dan mengawasi Tyn.

  "Apakah dia benar-benar akan baik-baik saja?"

***************

  Siang harinya pada hari yang sama, di depan kuil pusat Holy Order yang merupakan sebuah kuil besar yang dikeliingi berbagai pohon dan kuil kecil berdirilah seorang perempuan di depan gerbang masuk kuil.

Holy Order... organisasi agama terbesar yang ada di dunia. Mereka adalah persatuan dari berbagai penyembah Dewa dan Dewi tetapi yang paling dominan adalah penyembah Dewi Kehidupan Felice. Markas utama mereka berada di dalam ibukota kekaisaran Empire. Mereka dominan dipenuhi dengan orang-orang yang berbakat dalam hal sihir.

Tyn berlari dengan tergesa-gesa menghampiri perempuan yang sedang berdiri di depan pintu gerbang masuk kuil. Melihat Tyn yang tergesa-gesa dan masih mengenakan pakaian biasa membuat perempuan tersebut menepuk kepalanya dan menggelengkan kepalanya sendiri.

  "Senior Leisha, maaf aku terlambat... hufft..."
  "Kau sangat terlambat" keluh perempuan yang dihampiri oleh Tyn dengan sedikit emosi.

Leisha, salah satu dari Holy Priestess penganut aliran Dewi Kehidupan Felice. Dia adalah senior Tyn yang selalu memperhatikan Tyn sejak hari pertama Tyn diadopsi oleh Holy Order. Dia bukan hanya seorang kakak bagi Tyn; tetapi juga menjadi figur ibu meskipun umurnya dan Tyn hanya beda beberapa tahun saja.

  "Apa yang sebenarnya kau lakukan di kota? Bukankah kau hanya pergi untuk menerima tongkat sihirmu?" omel Leisha
  "Maaf senior" balas Tyn menundukan kepalanya. "Aku melihat kucing kelaparan di pinggir jalan jadi aku mampir ke toko untuk membelikan makanan"

Leisha menghela nafas untuk meredakan emosinya. Dia yang mengajarkan Tyn untuk "memperhatikan dan merawat semua makhluk hidup" tetapi dia tidak menyangka jika Tyn akan terlambat 3 jam lebih demi seekor kucing.

Justru karena sifat Tyn yang seperti itu yang membuatnya lumayan populer di kalangan beberapa Holy Priestess lainnya. Dia akan menerima semua perintah tanpa mempertanyakan perintah tersebut atau ragu-ragu. Dia terlalu polos untuk berpikir dan hal itu membuat Leisha selaku orang yang sangat dekat dengannya menjadi sangat khawatir.

  "Tidak ada gunanya aku menceramahimu. Cepatlah berganti pakaian dan temui aku di ruangan bishop Reina"

Jantung Tyn mulai berdetak kencang mendengar nama Reina disebut. Leisha yang sudah mengetahui Tyn yang sangat mengidolakan Reina langsung menepuk kepala Tyn dengan lembut.

  "Jangan gugup. Dia tidak akan mengigitmu kok"  ledek Leisha mengedipkan matanya
  "Ba-baik!"

Mereka berdua berjalan masuk ke dalam area kuil. Tyn berbelok ke apartemen di mana para Holy Priestess tinggal sementara Leisha langsung berjalan menuju ruangan bishop Reina yang terletak di dalam kuil utama.

Sambil menggaruk kepalanya, Leisha mencoba untuk mencari alasan supaya jangan Holy Priestess yang lain memarahinya.

  Begitu Leisha berada di depan pintu ruangan bishop. Dia menghela nafasnya sesaat. Dia mengetuk pintunya dan kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan bishop Reina yang dipenuhi dengan patung Dewi Kehidupan Felice.

Sesosok perempuan dengan rambut emas dan senyuman yang menawan sedang menghias bunga di depan salah satu patung tersebut. Dia adalah Reina.

Di dalam ruangan tersebut, ada sesosok Holy Priestess lain dengan rambut merah yang dikepang panjang sampai ke pinggangnya.

  "Salam, saudari Eva, Bishop Reina" sapa Leisha
  "Salam" balas Eva datar
  "Ah, saudari Leisha. Apakah Tyn sedang sakit?" tanya Leisha sambil berbalik memperhatikan Leisha
  "Tidak. Dia hanya menemukan kucing yang kelaparan di tengah jalan jadi dia pergi untuk membeli makanan sebentar untuk memberi makan kucing tersebut"

Eva mencoba untuk menahan tawanya mendengar itu. Di luar dugaan Leisha, Reina sama sekali tidak marah, justru dia tersenyum lega.

  "Yaah, kurasa itu adalah salahmu juga karena kau lah yang mengajarkannya untuk begitu" ledek Eva
  "Aku tidak mau dengar itu dari Holy Priestess yang mabuk dan pingsan karena minum terlalu banyak bir tadi malam" balas Leisha
  "Dari mana kau tahu?!" Eva menatap Leisha dengan kaget
  "Tenanglah sedikit" tegur Reina dengan suaranya yang lembut

Eva menutup wajahnya dengan kedua tangannya sambil tidak habis pikir bagaimana Leisha bisa mengetahui aibnya padahal satu-satunya yang tahu hal tersebut hanya Reina sendiri dan Reina belum berbicara dengan siapapun selain archbishop sendiri tadi pagi.

  "Tyn, dia itu sangat baik tetapi itu juga adalah alasan mengapa aku khawatir padanya" ucap Reina. "Apalagi mengingat dia akan menerima tugas di luar"

Leisha hanya mengangguk setuju. Tyn... anak yatim piatu yang ditemukan oleh Holy Order di tengah-tengah bekas medan perang yang masih dipenuhi dengan api dan darah segar. Pada saat itu Tyn tak lebih dari anak cengeng yang menangis. Dia juga merupakan satu-satunya orang yang selamat dari medan perang saat itu.

Leisha tersenyum sendiri mengingat kenangannya saat Tyn terus menempel dengannya 24 jam dan akan menangis jika dia harus berpisah dari Leisha yang terkadang harus bertugas sendiri.

  "Apakah anda khawatir akan kondisi perperangan saat ini?" tanya Eva memecah keheningan
  "Benar. Kekaisaran Empire masih berperang dengan Kerajaan Orheim" balas Reina. "Meskipun kita selaku anggota Holy Order tidak menjadi sorotan utama tetapi medan perang mampu membuat orang kehilangan akal sehat dan menyerang siapapun"

Suasana kembali menjadi hening. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak kekaisaran Empire masih berperang dengan Kerajaan Orheim. Holy Order mencoba melakukan apapun yang mereka bisa untuk menenangkan kedua belah pihak tetapi usaha mereka berdua gagal.

Akibat perperangan, terjadi banyak kelangkaan pangan dan ledakan populasi di dalam kekasiaran Empire dan Kerajaan Orheim. Belum lagi cuaca yang semakin tak menentu dan aktivitas monster yang semakin meningkat membuat situasi menjadi lebih buruk.

Bencana alam yang semakin sering terjadi dan semakin tidak bisa diprediksi menambah beban pikiran bagi semua orang.

Karena bahan pangan yang mulai langka, semua kerajaan di dunia mulai membuat gerakan masing-masing untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Ketegangan politik semakin memanas karena unit-unit perampok dari berbagai pemerintahan mulai bergerak untuk menjarah pangan dari kerajaan lain.

  "Sementara itu, kita di sini tidak bisa berbuat apa-apa" keluh Leisha

TOK! TOK! Suara pintu ruangan diketuk. Tyn yang sudah mengenakan seragam Holy Priestess melangkah masuk ke dalam dengan gugup. Wajahnya dipenuhi dengan keringat dingin ketika dia melhat Reina ada di depan.

  "P....p...pe....per....permisi... permisi...." ucapnya gugup

Tyn mulai melangkah masuk dengan kaku. Saking kakunya gerakannya, dia terkesan seperti robot yang sedang malfungsi.

  "Ah, Tyn!" sapa Reina sambil tersnyum
  "M...mmm...ma...maaf....atas....k...k...keterlambatan...saya" balas Tyn gugup

Leisha mencubit telinga Tyn sebagai teguran. Reina dan Eva tertawa melihat tingkah Tyn yang gugup.

  "Santai saja Tyn, aku tidak akan mengigitmu" balas Reina
  "Ba...baik" balas Tyn dengan suara kecil
  "Saudari Tyn, ada tugas dari para archbishop untukmu"

Tyn mengangkat wajahnya dan menatap Reina. Archbishop, orang-orang yang jabatannya bahkan lebih tinggi dari bishop. Reina menunduk untuk membuka laci meja kantornya. Dia mengeluarkan sebuah kotak kayu yang dibungkus dengan kain putih.

Dengan perlahan, dia berjalan menghampiri Tyn dan memberikan kotak tersebut pada Tyn.

  "Mereka memintamu untuk mengantarkan barang ini pada Kuil Mira" ucapnya

Mendengar nama kuil itu, Leisha spontan protes.

  "Tunggu sebentar!"
  "Ada apa saudari Leisha?" tanya Reina
  "Mengapa harus kuil Mira?! Tempat itu berada jauh di luar daerah Empire! Memang tempat itu jauh dari medan perang tapi ada begitu banyak monster dan bandit yang belakangan ini semakin menjamur. Saya menolak jika dia harus pergi sendirian!"

Tyn hanya memandang Leisha dengan rasa kagum. Semua kalimat itu keluar dari mulut Leisha tanpa ada keraguan sedikitpun.

  "Saya juga sependapat" sambung Eva. "Untuk mengirimkan seseorang yang tidak tahu cara bertarung ke sana benar-benar sebuah keputusan yang salah"
  "Oleh karena itu, setidaknya izinkan aku untuk mendampingi Tyn!" ucap Leisha dengan sangat tegas

Suasana menjadi hening untuk sesaat. Reina hanya menganggukan kepalanya. Melihat bagaimana Eva dan Leisha dengan tegas bisa mengeluarkan pendapat mereka membuat Tyn yang biasa kurang percaya diri sedikit terdorong untuk bersuara.

  "A-anu..." gumam Tyn. "Bolehkah aku berbicara?"
  "Tyn?" gumam Leisha sedikit terkejut
  "Aku sangat berterimakasih karena senior Leisha dan senior Eva khawatir tetapi, aku bukanlah anak kecil lagi"

Tyn tersenyum sendiri.

  "Sebagai orang yang sedang menjalani pelatihan untuk menjadi Holy Priestess, aku akan menaklukan rasa takutku. Bukankah cepat atau lambat, Holy Priestess akan turun ke medan perang untuk mencoba meredakan suasana, mengobati yang terluka dan memberikan doa pada mereka yang gugur?"
  "Kau tidak salah di bagian itu sih" keluh Eva
  "Meskipun aku memang masih takut jika melihat darah, tetapi jika aku tidak menaklukan rasa takut itu... maka aku tidak berhak menjadi Holy Priestess. Oleh karena itu, aku akan menerima tugas ini dan pergi tanpa didampingi"

Tyn menoleh pada Leisha sambil tersenyum penuh percaya diri. Leisha diam sesaat dan kemudian tersenyum melihat bagaimana Tyn yang dulunya anak cengeng sudah tumbuh.

  "Lagipula, aku ingin menolong orang lain di luar tembok ibukota. Aku sendiri tidak tahu apa yang bisa kulakukan tapi akan kulakukan semampuku!" sambung Tyn penuh percaya diri
  "Justru itulah kenapa aku khawatir" gumam Leisha menggelengkan kepalanya. "Tapi... baiklah. Berhati-hatilah di luar sana Tyn"
  "Baik senior Leisha! Lihatlah, aku akan menyelesaikan tugas ini dan kembali!"

Reina tersenyum melihat betapa percaya diri Tyn. Meskipun demikian, fakta jika Tyn tak bisa bertarung masih menjadi masalah. Beruntung, Reina sudah menyiapkan solusinya.

  "Oh soal perjalanan..." gumam Reina. "Aku memiliki teman petualang yang kebetulan akan pergi melewati kuil Mira. Mereka itu memang terlihat seperti orang gila tetapi mereka baik dan ahli bertarung"
  "Aaah, kalau begitu aku bisa tidur dengan tenang" ucap Leisha lega

Tyn terdiam untuk sesaat. Kemudian dia dibanjiri dengan semangat berapi-api.

  "Apa itu berarti aku akan bisa bertarung dengan mereka di barisan depan?" tanya Tyn bersemangat
  "Tidak, jangan coba-coba" tegur Leisha. "Jika aku sampai tahu.... aku akan menyuruhmu memasak pancake"
  "Eeeeh?! T-tapi...."
  "Tidak ada tapi-tapian!" balas Leisha tegas. "Jika kau bertarung di barisan depan, aku akan menyuruhmu membuat 10 pancake! Paham?"

Tyn menundukan kepalnya. Dengan lesu dia mengangguk.

*************

  Perjalanan menuju Kuil Mira tidak terasa begitu berat dengan rombongan petualang yang dipimpin oleh temannya Reina. Seperti yang telah dijelaskan oleh Reina pada Tyn, rombongan tersebut memang ahli dalam bertarung. Mereka bahkan bisa memprediksikan kapan dan di mana serangan bandit akan terjadi hanya berdasarkan informasi kurang lengkap yang mereka terima.

Tentu saja, itu karena beberapa dari mereka dulunya adalah bandit juga. Jika bukan karen Tyn, mereka mungkin sudah akan membunuh begitu banyak bandit yang menyerang.

Dengan kelompok yang tangguh seperti itu, perjalanan terasa begitu mudah. Hanya dalam 4 hari saja, mereka sudah hampir tiba di Kuil Mira. Rombongan sempat mampir di sebuah desa kecil tak bernama di perbatasan medan perang.

Ketika rombongan tiba di desa tersebut, Tyn hampir menangis meliihat kondisi desa tersebut. Sebagian besar gedung sudah runtuh. Tiap sudut dipenuhi dengan bercak darah yang telah mengering. Ada beberapa mayat-mayat tergeletak di jalanan begitu saja, sebagian besar adalah mayat prajurit dari Kerajaan Orheim dan Kekaisaran Empire.

Tyn benar-benar gemetaran dan ingin muntah melihat mayat-mayat tersebut. Dia menutup kedua matanya dan sekilas, dia teringat saat pertama kali Holy Order menemukannya saat dia masih kecil; dikelilingi oleh mayat dan darah segar.

Saat itu, ada seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang. Seorang laki-laki dengan muka yang dipenuhi luka goresan.

  "Kau tidak apa-apa priestess?" tanya laki-laki tersebut
  "Aku tidak apa-apa, terimakasih Hubert" balas Tyn

Hubert adalah pemimpin dari rombongan, teman Reina sendiri. Konon katanya, dia itu dulunya pembunuh bayaran yang akhirnya hidup sebagai petualang.

Tyn menggelengkan kepalanya sesaat dan kembali menatap salah satu mayat prajurit yang kepalanya hilang setengah.

  "Hubert"
  "Hmm-hm?"
  "Maaf, tapi bisakah kalian membantuku menguburkan mayat-mayat ini?"

Hubert melihat mayat-mayat yang masih tergeletak. Dia menggaruk lehernya sesaat kemudian dia menghela nafas untuk memberikan perintah.

  "Semuanya! Kita akan membersihkan mayat-mayat ini! Berikan mereka pemakaman yang layak! Kita juga akan mencoba membantu penduduk di sini sebisa mungkin!" teriaknya dengan lantang
  "Siap!" balas orang-orang dalam rombongan serempak
  "Terimakasih Hubert" ucap Tyn
  "Pastikan kau benar-benar menenangkan arwah mereka. Aku tidak suka berurusan dengan undead"

Tyn menganggukan kepalanya. Dia pun turun dari kereta berkuda dan bergabung dengan anggota rombongan lainnya untuk mencari tempat untuk menguburkan mayat-mayat.

  Kondisi desa ini memang benar-benar kacau balau. Kepala desa telah terbunuh dalam serangan dadakan oleh prajurit kerajaan Orheim yang kehilangan arah dan semenjak itu, tidak ada yang memimpin para warga yang selamat dari insiden tersebut.

Namun dengan tibanya rombongan Hubert, mereka menjadi sedikit terbantu. Dengan bantuan warga yang tersisa, mereka menguburkan mayat-mayat pada bukit tak jauh dari desa. Perlu 2 hari penuh untuk bisa menguburkan semua mayat yang ada.

Tyn tidak hanya memastikan pemakaman berjalan mulus dan memastikan arwah-arwah yang dikubur tidak gentayangan, dia juga menetap di desa bersama dengan rombongan selama beberapa hari untuk membantu warga desa yang tersisa.

Hubert dan yang lainnya mengajarkan para warga untuk memegang senjata guna untuk berburu dan mempertahankan diri dari potensi ancaman bandit sementara Tyn mengajarkan orang-orang untuk mengobati luka dengan memanfaatkan tumbuhan-tumbuhan yang ada di sekitar desa.

Tidak terasa rombongan tersebut telah menetap selama 5 hari.

Tyn yang sedang tertidur pulas, bermimpi masa kecilnya yang suram... masa dimana dia sendirian menangis tetapi tidak ada yang meminta tolong.

  "Guh!"

Tyn terbangun dari tidurnya. Nafasnya tidak teratur, dan keringat mulai turun membasahi wajahnya. Tyn melihat ke kiri-kanan. Hubert dan rombongan masih tertidur pulas di dalam gudang di dalam desa bersama-sama dengan beberapa warga.

Tyn menghela nafas singkat dan menenankan dirinya. Setelah detak jantungnya mulai normal, dia bangkit berdiri dan keluar dari dalam gudang.

Meskipun desa ini masih berantakan, setidaknya suasananya terasa sangat damai setelah kedatangan mereka. Tyn berjalan duduk di sebuah batang kayu bekas barikade yang rusak kemudian dia menatap pada langit malam hari yang gelap gulita dan dipenuhi bintang.

  "Dewi Kehidupan, hambamu ini sangat takut... tetapi apakah aku benar-benar melakukan sesuatu yang baik?" gumamnya dalam hati

Dia menutup kedua matanya sesaat.

  "Aku penasaran apa yang sedang dilakukan senior Leisha sekarang..."

Dia tersenyum sendiri memikirkan mungkin Leisha sedang kebingungan cara menyalakan televisi di dalam apartemen yang ditinggali Holy Priestess.

Tiba-tiba saja, dia merasa sangat tidak enak. Seperti ada sesuatu yang salah pada udara malam ini. Dia membuka matanya dan memperhatikan sekelilingnya. Meskipun segala sesuatu terlihat normal, dia yakin dia merasakan sesuatu yang benar-benar tidak normal.

  "Aliran magic menjadi tidak stabil.... apa yang terjadi?" gumamnya

Dengan gugup, dia bangkit berdiri. Dia mengalirkan kekuatan magicnya pada tongkat miliknya untuk mendeteksi aliran magic di sekelilingnya. Aliran magic di sekitarnya benar-benar tidak stabil, seperti ada sesuatu yang mengganggu aliran magic.

Tyn melihat ke bukit yang tak jauh dari desa. Apapun yang menyebabkan gangguan aliran magic bersumber dari balik bukit tersebut. Sesaat dia menelan ludah, kemudian dia berlari menuju balik bukit tersebut.

Di balik bukit tersebut hanya ada lapangan kosong... tetapi di tengah-tengah lapangan kosong tersebut, ada sesosok perempuan yang seumuran dengan Tyn, tergeletak tak bergerak sama sekali.

Dibanjiri rasa khawatir, Tyn berlari memeriksa perempuan tersebut. Tyn bernafas lega karena dia hanya pingsan. Sekujur tubuhnya dipenuhi dengan luka yang entah ditimbulkan oleh apa. Pakaiannya juga sobek.

Khawatir jika siapapun pelakunya masih di sekitar sini, Tyn memikul perempuan tersebut dan berlari kembali ke dalam gudang desa. Suara langkah kaki Tyn yang tergesa-gesa membangunkan Hubert dan beberapa orang di dalam gudang.

Ketika mereka melihat Tyn berlari menggendong seseorang, Hubert langsung mengambil pedang miliknya dan bangkit berdiri.

  "BANGUN SEMUANYA! MALAM INI KITA AKAN BERJAGA!" teriak Hubert

Teriakan Hubert yang seperti petir, membangunkan semua orang di dalam gudang. Dengan sigap, semua orang mengambil senjata mereka masing-masing dan berlari keluar gudang untuk berjaga-jaga.

Tyn membaringkan perempuan yang dibawanya pada kantong tidurnya.

  "Siapa ini?" tanya Hubert
  "Tidak tahu" balas Tyn mengglengkan kepalanya. "Tetapi aku menemukannya di balik bukit"
  "Oi-oi, serius? Bandit?" gumam salah satu anggota rombongan
  "Dia jelas-jelas bukan warga sini. Mungkin tahanan bandit yang melarikan diri?" sambung salah satu warga
  "Kita tidak bisa membiarkan seperti ini. Aku akan segera merawatnya" ucap Tyn

Tyn menyentuh luka pada tangan perempuan tersebut. Saat Tyn akan mengalirkan sihir penyembuhan, dari luar ada sebuah teriakan dari salah satu anggota rombongan.

  "UNDEAD!!!"
  "Cih, Tyn, kita perlu bantuanmu" ucap Hubert
  "Ba-baik!" balas Tyn. "Seseorang! Tolong tutup lukanya dengan perban"

Tyn bangkit berdiri dan berlari bersama-sama dengan Hubert keluar dari dalam gudang. Ketika mereka keluar, sesosok kerangka manusia transparan sedang mengambang lewat tepat di hadapan mereka.

  "Specter" gumam Tyn begitu dia melihat sabit yang dipegang sosok tersebut

Spontan, specter tersebut melihat ke arah Hubert dan Tyn. Dengan cepat sosok tersebut mengayunkan sabitnya. KLANG! Hubert menangkis sabit tersebut dengan pedang miliknya untuk melindungi Tyn.

  "Cepat bersihkan dia!" perintah Hubert. "GAAAAH!!!"

Hubert mendorong sabit tersebut. Sosok specter itu terdorong menjauhi Tyn. Hubert berlari ke specter tersebut untuk memastikan undead itu tertuju padanya bukan pada Tyn. Tyn yang masih kaget melihat ke kiri dan ke kanan, ada beberapa anggota rombongan dan warga yang sedang bertarung dengan specter lain.

Jumlah specter memang sama banyak dengan manusia yang ada tetapi mereka tetaplah undead; mereka tidak bisa mati (lagi).

Kedua tangan Tyn gemetaran untuk sesaat karena dia teringat kembali bagaimana kedua orang tuanya dibunuh saat dia masih kecil.

  "TYN!!!" teriak Hubert

Teriakan Hubert membuat Tyn terbuyar dari lamunannya. Tyn menancapkan tongkat kayunya ke tanah. Dia mengulurkan kedua tangannya ke langit.

  "O Dewi Kehidupan Felice" ucap Tyn. "Dengarkanlah perhomonanku, ampunilah para arwah ini..."

Dalam sekejap, cahaya suci mulai bersinar mengelilingi Tyn. Para specter yang bisa merasakan mantra suci langsung menatap Tyn. Mereka semua meraung dan mulai mengambang menuju Tyn tetapi semua orang yang ada menahan mereka.

  "JANGAN BIARKAN MEREKA MENDEKAT!"  perintah Hubert
  "... pinjamkanlah kekuatanmu dan bimbinglah mereka ke peristirahatan terakhir mereka." gumam Tyn

Tyn membuka kedua matanya, kemudian mengayunkan kedua tangannya ke bawah. Dalam sekejap, cahaya-caha suci bersinar membentuk pilar pada tiap specter. Raungan mereka bisa terdengar dengan sangat jelas. Tubuh mereka perlahan-lahan mulai menghilang sampai mereka benar-benar menghilang tanpa bekas sedikitpun.

Orang-orang langsung bersorak gembira. Tyn menghela nafas lega. Sekujur tubuhnya terasa sedikit keram akibat menggnakan mantra suci kelas tinggi. Berbeda dari Holy Priestess lainnya, Tyn memang tidak begitu berbakat soal sihir dan tidak mampu menggunakan sihir kelas tinggi tanpa membuat sekujur tubuhnya menjadi kaku.

  "Huufft.... hufft... berhasil...." gumam Tyn. "Aku tidak menyangka aku akan menggunakan mantra itu"

Hubert menggaruk lehernya sambil memperhatikan Tyn yang kelelahan.

  "Aku paham mengapa Reina suka membicarakanmu" gumamnya dalam hati

***************

  Keesokan paginya, perempuan yang diselamatkan oleh Tyn sadar. Rambutnya yang begitu putih dan kulitnya yang sangat pucat ditambah dengan ekspresinya yang bingung menarik perhatian beberapa orang.

Tyn yang sejak tadi malam tidak bisa tidur akhirnya menyadari dia sudah bangun. Dengan senyuman ramah, Tyn menyapa perempuan tersebut.

  "Pagi, bagaimana kondisimu?" sapa Tyn

Perempuan tersebut hanya bingung menatap Tyn.

  "Oh, namaku Hildegard Tyn. Panggil saja Tyn" ucap Tyn. "Namamu?"

Perempuan tersebut terdiam sesaat. Dia memegang kepalanya.

  "Azaelilysha Kylith"
  "Nama yang bagus" balas Tyn. "Bolehkah aku memanggilmu Lilysha saja?"

Perempuan tersebut menganggukan kepalanya. Tyn merasa lega melihat respon tersebut karena dia tidak akan bisa mengingat nama seperti itu bahkan jika dia mengulangi nama itu di dalam kepalanya selama bertahun-tahun.

  "Lilysha, kau bukan dari sini kan? Dari mana asalmu? Di mana yang teman-temanmu?"

Lilysha terdiam. Dia berusaha keras untuk mengingat tetapi dia benar-benar tidak mengingat apapun. Tyn langsung sudah menyadari jika Lilysha terkena amnesia. Di saat inilah, Tyn kembali teringat pada dirinya dulu saat dia ditemukan oleh Holy Order.

Karena tidak ingin Lilysha melalui pengalaman buruk yang sama dengannya, hati kecil Tyn pun mengambil keputusan bulat.

  "Kalau begitu... bagaimana jika kau mengikutiku saja?" tawar Tyn
  "Mengikutimu?" respon Lilysha menaikan alis matanya
  "Benar, sampai kau mengingat kembali siapa dirimu, aku akan mengurusmu"

Lilysha menganggukan kepalanya tanpa ragu-ragu.

  "Kalau begitu, biarkan aku mengobati lukamu terlebih dahulu ya"

Tyn dengan hati-hati membuka perban yang menutupi luka pada tubuh Lilysha tetapi betapa terkejut dia ketika dia menyadari semua luka-luka yang diderita oleh Lilysha telah menghilang tanpa bekas sama sekali.

Tyn yakin sangat mustahil jika luka bisa sembuh secepat ini tanpa menggunakan mantra penyembuhan. Satu-satunya alasan adalah Lilysha memiliki penyembuhan luka yang luar biasa bagus.

Tyn sempat berpikir jika mungkin ada orang lain yang menyembuhkannya tetapi itu mustahil karena dari semua orang di sini; entah itu anggota rombongan ataupun warga desa, hanya Tyn yang tahu cara menggunakan mantra penyembuhan.

  "Tyn? Ada apa?" panggil Lilysha kebingungan
  "Oh, tidak. Tidak ada apa-apa" balas Tyn. "Lukamu ternyata sudah sembuh"

Lilysha membuang perban yang membalut Lilysha. Tyn menyembunyikan rasa kagumnya pada Lilysha yang sudah sembuh dari luka.

  "Tyn, bagaimana cara membuat penawar racun lagi?" tanya salah satu anggota rombongan dari sudut ruang
  "Penawar racun?" gumam Lilysha
  "Iya, obat penawar racun. Mau kuajari cara membuatnya?"

Lilysha tersenyum, dia menganggukan kepalanya dengan semangat.

***********

  Beberapa hari berlalu semenjak pertemuan pertama Lilysha dan Tyn. Mereka berdua menjadi sangat dekat. Lilysha sudah ibaratkan menjadi adik sendiri bagi Tyn meskipun jika dibandingkan dari penampilan mereka berdua, Lilysha terlihat sedikit lebih dewasa.

Rombongan Hubert tidak bisa tinggal di desa tersebut terus-menerus, begitu juga dengan Tyn yang sedang dalam tugas. Mereka memutuskan untuk berangkat pada sore hari tetapi sebelum berangkat, Tyn meminta izin untuk pergi ke kuil keramat milik desa.

Hubert dan beberapa petualang pergi mengikuti mereka karena penasaran dengan bentuk kuil keramat. Tentu saja, Lilysha terus menempel dengan Tyn.

Kuil tersebut terletak di dalam hutan. Tidak jauh dari desa tetapi para warga sudah tidak pernah mengunjungi sejak 2 tahun belakangan ini karena perperangan yang berkobar.

2 jam berjalan kaki mengikuti jalan setapak, mereka akhirnya tiba juga di kuil keramat. Kondisinya benar-benar tidak terawat. Kuil tersebut dipenuhi dengan lumut, tumbuhan dan debu.

  "Huh.... kau tidak akan marah Holy Priestess?" tanya Hubert
  "Tidak. kuil tidak lebih dari sebuah lokasi. Dewi Felice mengajarkan kita untuk memperlakukan semua makhluk hidup dengan sama"

Hubert hanya menaikan alis matanya. Tiba-tiba, sebuah anak panah melesat mengenai kepala salah satu anggota rombongan.

  "Berlindung!" teriak Hubert

Semua orang berlari berlindung dari serangan mendadak. Tyn menarik Lilysha dan berlindung di balik sebuah tembok kuil. Tak lama kemudian, para penyerang mulai berlari keluar. Kini sudah jelas, mereka adalah bandit.

Hubert dan sisa anggota rombongan yang selamat keluar dari persembunyian mereka untuk menyerang para bandit. Suasana kuil yang sepi kini dipenuhi dengan teriakan dan hantaman senjata.

Untuk pertama kalinya, Hubert terlihat jelas kalah dalam pertempuran. Satu per satu anggota rombongan mulai gugur. Tyn.... hanya bisa melihat mereka sambil gemetaran ketakutan.

Sampai hanya Hubert yang tersisa dari anggota rombongan yang bersama Tyn.

  "Tyn! Larilah!" perintah Hubert
  "T-tapi..."
  "Aku akan menyusulmu! Pergilah!"

Tyn menutup kedua matanya sesaat, kemudian dia menarik tangan Lilysha dan melarikan diri secepat mungkin menyusuri jalan setapak tersebut kembali. Beberapa anak panah melesat ke arahnya dan Lilysha.

Beberapa anak panah beberapa kali hampir mengenai Tyn. Sambil menahan rasa sakit karena goresan anak panah, Tyn terus berlari. Baginya, keselamatan Lilysha adalah nomor satu.

  "Tyn!" teriak Lilysha sambil menunjuk ke langit

Tyn melihat ke langit. Gumpalan asap hitam tebal sudah memenuhi langit. Asap tersebut berasal dari desa, yang berarti desa juga sedang diserang.

Dugaan Tyn benar, ketika mereka sampai di desa, tidak ada satupun orang yang hidup. Semuanya telah mati, gedung-gedung yang tersisa terbakar. Kereta berkuda yang mereka gunakan juga telah dihanguskan.

Hanya ada para bandit yang sedikit terkejut dengan kehadiran mereka berdua. Tyn menelan ludah melihat penampilan para bandit yang terkesan rapi untuk takaran bandit.

Tak lama kemudian, para bandit mulai berjalan keluar dari dalam hutan. Kini mereka berdua benar-benar terkepung.

  "Jika mereka mengepung kita berarti Hubert...." gumam Tyn. "Tidak mungkin kan? Tidak mungkin Hubert mati kan?"

Air mata mulai mengalir dari kedua matanya Tyn. Dia kembali teringat saat kedua orang tuanya dibunuh di depan matanya. Bagaimana kedua orang tuanya menggunakan badan mereka sendiri untuk menahan pedang.

  "Nah Holy Priestess, jika kau menyerahkan relik itu pada kami, kami akan membiarkan kalian berdua hidup" sahut salah satu bandit

"Barang itu". Tyn langsung memegang erat-erat ransel yang dipikulnya. Setidaknya dia tahu para bandit mengincar barang yang ditugaskan padanya.

Melihat gerak tangan Tyn yang memegang erat-erat ransel miliknya menjadi tanda jika dia menolak. Salah satu bandit mengeluarkan pistol dan membidik Lilysha. Tepat saat dia menarik pelatuk pistol, Tyn dengan sendirinya mendorong Lilysha.

DOR!!

Untuk sesaat, Tyn merasakan rasa sakit yang luar biasa ketika peluru menembus dirinya. Tubuhnya kehilangan keseimbangan.

  "TYN!!!" teriak Lilysha

GLUDUG!

Tyn terjatuh ke tanah. Pandangannya mulai kabur dan sekujur tubuhnya terasa sangat dingin. Suara teriakan dari Lilysha perlahan mulai menjadi tidak jelas hingga dia tidak bisa mendengar apapun.

Nafasnya mulai tidak beraturan. Dia sekali lagi teringat bagaimana kedua orang tuanya dibunuh dan bagaimana dia tinggal sendirian di medan perang selama beberapa hari. Dia teringat kembali Leisha yang selalu ditempelinya.

  "Dewi Kehidupan, tolong aku...." gumam Lilysha

Pandangannya mulai menjadi gelap gulita.

  "Dewi Felice.... tolong..... aku tidak mau sendiri lagi"

Seluruh tubuhnya mulai terasa kaku.

  "Beginikah aku akan mati? Sendirian? Di dalam kegelapan ini?" pikir Tyn. "Aku tidak mau.... seseorang.... tolong.... seseorang....."

Mulut Tyn akhirnya tidak bisa bergerak lagi. Tubuhnya benar-benar mati rasa. Namun entah mengapa, tiba-tiba dia bisa merasakan gangguan pada aliran magic. Kedua matanya terbuka perlahan.

  "Sepertinya kau masih ingin hidup"

Suara yang sangat halus bisa didengarnya. Meskipun badannya telah mati rasa, Tyn bisa menggerakan badannya. Dia bangkit dan melihat sekelilingnya. Dia masih dikelilingi oleh para bandit, di sampingnya ada Lilysha yang sedang menatapnya.

  "Lilysha?" gumam Tyn
  "Waktu kita tidak banyak" balas Lilysha

Tyn memandang sekelilingnya sekali lagi. Para bandit tidak bergerak sedikitpun sama sekali. Bahkan api yang membara juga sama sekali tidak bergerak.

  "Aku hanya menghentikan waktu untuk sementara. Ketika mantra ini habis, kau akan mati"

Tyn langsung terdiam. Dia paham jika dia akan mati tapi dia masih bingung apa yang terjadi. Lilysha menyentuh dagu Tyn dengan tangannya. Kedua bola matanya yang berwarna merah seperti darah memperhatikan Tyn yang jelas-jelas takut tapi juga bingung.

  "Ketika melihatmu hampir mati dan bagaimana kau menangis, aku kembali mengingat semuanya" ucapnya. "Hildegard Tyn! Bersyukurlah, karena aku akan menunjukan wujud asliku!"

Dalam sekejap, sepasang tanduk yang terbuat dari api biru gelap mulai tumbuh pada kepala Lilysha. Pupil matanya yang mirip seperti manusia mulai melancip layaknya sesosok iblis. Sebuah ekor iblis tumbuh pada belakangnya Lilysha.

  "Aku adalah Azaelilysha Kylith. Salah satu dari demon monarch! Penguasa mutlak menara kesengsaraan!"
  "Demon.... monarch?" gumam Tyn
  "Benar. Kita tidak punya banyak waktu, jadi akan kujelaskan dengan singkat"

Demon monarch adalah title yang diberikan pada iblis yang sangat kuat. Tetapi nama Azaelilysha Kylith sama sekali belum pernah didengar. Mungkin saja, dia adalah demon monarch baru atau memang belum pernah membuat gerakan sama sekali ketika invasi iblis pertama dahulu kala.

  "Dengar, tidak lama lagi... iblis akan segera menginvasi dunia ini sekali lagi dan kalian, para manusia yang menyedihkan tidak akan bisa menang tanpa bantuanku. Aku sedikit berselisih dengan kolega-kolegaku sehingga aku kehilangan sebagian besar kekuatanku"

Dengan senyuman yang terkesan licik, Lilysha mendekatkan wajahnya pada Tyn yang masih bingung dan takut akan kematian.

  "Dalam kondisiku yang sekarang, aku tidak bisa hidup di dunia tanpa wadah. Begitu mantra ini selesai, kita berdua akan mati bersama-sama dan dengan itu pula, harapan umat manusia untuk selamat dari invasi iblis ke-2. Oleh karena itu...

Kedua mata Tyn menatap langsung pada mata Lilysha yang merah seperti darah dan sangat menyeramkan.

  "Jadilah wadahku di dunia ini, sebagai gantinya aku akan melindungimu. Bagaimana? Hildegard Tyn?"

Tyn sama sekali tidak mendengarkan penjelasan Lilysha yang panjang lebar tadi. Yang dia tahu, Lilysha sedang mengulurkan tangannya. Tyn yang sudah dipenuhi rasa takut mati dan rasa tidak ingin untuk ditinggalkan sendirian mengeluarkan air matanya.

  "Jangan tinggalkan aku sendirian" rengek Tyn

Tyn menjabat tangan Lilysha. Dengan senyuman puas Lilysha tertawa.

  "Kontrak selesai. Tenang saja Tyn, kau telah memilih majikan yang bagus"

Dalam sekejap, pandangan Tyn menjadi sangat terang benderang dan sangat silau sampai-sampai dia tidak bisa melihat apapun.

**********

  Angin yang sangat kuat tiba-tiba bertiup dari tubuh Tyn. Api berwarna biru gelap mulai membara mengelilingi tubuh Tyn yang tidak bergerak. Saat api tersebut menghilang, Tyn membuka kedua matanya.

Tubuhnya tidak lagi terasa sakit ataupun kaku. Luka tembakan yang tadi mengenainya juga telah menghilang tanpa bekas sedikitpun. Para bandit yang menyaksikan itu langsung terkejut setengah mati.

  "M-mustahil! Tembakan tadi mengenai jantungnya!" teriak salah satu bandit

Tyn langsung teringat pada Lilysha, dia melihat ke sampingnya, Lilysha tepat ada di sampingnya, memegang tangan kanan Tyn erat-erat sambil tersenyum puas.

  "Kontrak sudah selesai. Serahkan semuanya padaku" ucapnya

Lilysha bangkit berdiri dan memperhatikan para bandit yang disekitarnya. Salah satu bandit membidik Tyn sekali lagi.

DOR! Peluru panas melesat dari moncong senapan ke arah kepala Tyn yang kebingungan. Namun ada sesuatu yang menghentikan peluru tersebut di tengah-tengah perjalanannya, peluru tersebut kemudian terbakar habis.

Beberapa bandit lain mengeluarkan pistol mereka dan beramai-ramai menembak ke arah Tyn dan Lilysha namun sia-sia, semua peluru mereka terhenti di udara dan terbakar habis.

  "Bunuh mereka! Mereka hanya 2 orang perempuan tidak berguna!" perintah salah satu bandit

  Para bandit mengeluarkan pedang mereka dan beramai-ramai berlari mencoba menikam Lilysha dan Tyn. Lilysha dengan tenang mengulurkan tangan kanannya ke depan, tiba-tiba saja salah satu bandit berhenti bergerak.

KRAK!! Jantung bandit tersebut keluar menembus badan bandit tersebut secara paksa dan mengambang ke tangan Lilysha. Melihat hal tersebut, bandit yang lain berhenti karena terkejut. Lilysha meremas jantung tersebut. PLASH!! Jantung tersebut meledak, darah segar tempias ke segala arah. Pada saat bersamaan, bandit yang jantungnya keluar tadi muntah darah dan langsung tergeletak tak bernyawa di tanah.

  "Mantra itu.... ilmu iblis!" ujar salah satu bandit
  "Mustahil! Iblis melindungi Holy Priestess?!" sambung salah satu bandit
  "Iblis?" gumam Lilysha sedikit kesal. "Dasar makhluk rendahan

Para bandit menelan ludah melihat betapa tenangnya Lilysha.

  "Aku! Azaelilysha Kylith, succubus demon monarch penguasa mutlak menara kesengsaraan! Bersujudlah wahai makhluk rendahan! Sebagai gantinya, akan kupatikan kematian kalian begitu cepat!" ucap Lilysha dengan tegas

Suasana menjadi hening sesaat. Salah satu bandit memberanikan diri untuk maju dan mencoba menyerang Lilysha namun baru selangkah, dia berhenti bergerak. Sekujur tubuhnya gemetaran hebat.

  "AAARRGGGHHH!!!" 

Bandit tersebut bertekuk lutut dan menggaruk garuk badannya. Perlahan, seluruh tubuhnya mulai meleleh. Bandit tersebut berteriak kesakitan. Kulitnya perlahan-lahan mulai meleleh kemudian diikuti dengan daging beserta organ tubuhnya dan kemudian tulangnya.

Kematiannya begitu sangat lambat, teman-temannya tidak bisa berbuat apa-apa melihatnya mati dengan cara yang sangat menyakitkan seperti itu.

  "Dia benar-benar iblis!" teriak salah satu bandit panik
  "Gunakan mantra suci! Bunuh iblis itu!"

Para bandit yang tersisa mengeluarkan tongkat kayu mereka dan mulai menyiapkan begitu banyak mantra elemen suci tingkat tinggi. Melihat mantra suci tersebut, Tyn menjadi kaget, bukan karena fakta jika bandit bisa menggunakan mantra suci, melainkan karena mantra-mantra yang digunakan oleh para bandit hanya bisa digunakan oleh mereka yang berada di dalam Holy Order.

Lilysha sama sekali tidak takut. Dia hanya menguap karena bosan bahkan ketika dia sedang dihujani oleh mantra suci tingkat tinggi.

  "Begitu saja kemampuan kalian? Membosankan, padahal aku berharap kalian bisa menghiburku sedikit" ucapnya
  "Mustahil! Tidak ada satupun mantra suci yang mempan!"

Salah satu bandit mengeluarkan kristal pemanggil. Kristal tersebut mengeluarkan aura suci yang hebat dan tak lama kemudian sesosok makhluk bersayap putih turun dari langit. Makhluk tersebut adalah monster berelemen suci kelas tinggi; Holy Executor. Lilysha hanya tertawa melihat makhluk tersebut.

  "Ku..hahahahahahaha! Inikah senjata andalan kalian?" tanya Lilysha
  "Benar! Ini adalah monster elemen suci yang membantu para pahlawan mengalahkan iblis saat invasi pertama iblis! Binasalah kau iblis!"
  "Bodoh" gumam Lilysha kesal. "Makhluk seperti ini tidak akan bisa melukai iblis sepertiku"
  "B-bicarah sesukamu! Lihatlah sendiri kekuatan dari makhluk legendaris yang telah membantu pahlawan memusnahkan iblis saat invasi iblis pertama!!"

Lilysha hanya menjentikan jarinya. Dalam sekejap monster tersebut langsung terbakar oleh api biru gelap hingga tersisa debu. Melihat kartu andalan mereka dikalahkan dengan sangat mudah membuat para bandit diam tak berkutik.

  "Nah, sekarang.... giliranku untuk bermain-main sedikit" ucap Lilysha sambil menjulurkan lidahnya sesaat seperti anak kecil yang akan menyantap es krim. "Tenang saja, aku akan bermain-main dengan saaaangaaat leeembut"

****************

  Tak perlu lebih dari 1 menit untuk Lilysha menghabisi seluruh komplotan bandit. Bandit-bandit tersebut dengan sangat mudahnya dapat dikalahkan olehnya.

Tyn hanya diam tak berkutik karena dia baru saja menyadari jika dia baru saja membuat kontrak dengan iblis; musuh utama dari Holy Order. Lilysha berbalik menatap Tyn yang masih shock berat. Perlahan, Lilysha mendekati Tyn.

Dia berlutut untuk menyamakan tingginya dengan Tyn. Tanpa berbicara sepatah kata, dia langsung memeluk Tyn dan mengelus-ngelus kepalanya.

  "Aku memang tidak menyukai manusia, tetapi untukmu aku akan membuat pengecualian" bisik Lilysha
  "T....tapi..." gumam Tyn
  "Tenang saja, aku akan melindungimu apapun yang terjadi. Untuk sekarang, beristirahatlah dahulu Tyn, wadahku yang berharga"

Tyn akhirnya menutup kedua matanya dan dalam sekejap tertidur pulas. Lilysha hanya tersenyum puas melihat wadahnya sekarang sedang tertidur pulas.

  "Heh, bekerja sama dengan musuh abadi iblis... takdir macam apa ini?" gerutunya

Bersambung
********************

  Episode selanjutnya,

  Tyn mau tidak mau harus bekerja sama dengan Lilysha. Meskipun masing-masing sudah jelas tidak menyukai satu sama lain tetapi sudah jelas mereka memerlukan satu sama lain untuk tetap hidup. Pertanyaan-pertanyaan mulai muncul di benak mereka berdua tentang mengapa desa yang mereka tempati diserang oleh bandit. Kecurigaan dan spekulasi mulai muncul...

Inilah awal dari petualangan seorang yang sedang menjalani latihan untuk menjadi Holy Priestess dengan sesosok emon monarch di dunia yang akan segera tenggelam dalam lautan perperangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar