Kamis, 26 Desember 2013

Zano & Kawanan : Epidemik Part-4

  "Zano & Kawanan : Epidemik" adalah salah satu episode dari cerita berseri "Zano & Kawanan" karya Green Leaper.

Part sebelumnya, Juita telah menyusun sebuah rencana untuk "memenangkan pertempuran" melawan pasukan zombie yang ada di pulau. Apakah rencananya akan berjalan lancar?

Happy Reading, semoga terhibur!



*************
Zano & Kawanan
Epidemik
Part-4
Akankah Berhasil?

  "29, 30... Hm. Jumlah mereka ada 30" bisik Novi

  Gue dan Novi sekarang ada di dalam hutan. Kami berdua ditugaskan untuk mencari tau kelemahan dari zombie dan jika situasinya memungkinkan, menjatuhkan sebanyak mungkin zombie. Seperti yang Juita katakan; "1 zombie yang kalian berdua jatuhkan di luar sana, itu berarti minus 1 zombie yang akan menyerang kita kapan saja".

Beberapa staff penginapan juga ditugasin dengan tugas yang sama tapi tentu aja dengan lokasi yang berbeda. Gue harap mereka baik-baik aja.

  "Zano, kau memperhatikanku atau tidak?" tanya Novi
  "Yep, 30 zombie. Gue dengerin kok" jawab gue

30 itu terlalu banyak buat kita berdua jatuhkan sekaligus. Hm... Lebih baik kita muter cari kelompok zombie yang kurang jumlahnya.

  "Aku punya startegi Zan" bisik Novi
  "Ha? Apa rencana lu?"
  "Pertama-tama, kamu menjatuhkan 15 zombie di sebelah kiriku"
  "Hm, terus?"
  "Lalu, kau menjatuhkan yang sisanya"
  "Kampret, kalo gitu sama aja gue yang nyelesain semuanya!" gue komplain

Novi menatap gue, menghela napas sebentar.

  "Kalau begitu, kita gabungkan kekuatan kita" usul Novi
  "Gabung kekuatan? Lu kira kita power ranger gitu?"
  "Kau yang maju menyerang, aku tetap di sini saja" sambung Novi
  "Kalo gitu sama aja dengan ide lu yang pertama"

Gue menggaruk-garuk kepala gue. Novi terlihat cemberut.

  "Apa boleh buat? Cuma itu yang kepikiran di kepalaku" keluh Novi
  "GRAAAH!"

Salah satu zombie berhasil menemukan kami berdua dan langsung menyerang. Novi menendang muka gue sehingga serangan zombie terebut meleset. Cicak.... Muka gue serasa penyok setelah ditendang. Apa gak ada cara lain yang lebih halus gitu?!

Gue terpental ke bawah pohon. Ada zombie lain yang menyerang gue. Gue spontan langsung menghajar zombie itu dari kepala dengan sebuah tendangan yang kuat. Zombie itu langsung jatuh ke tanah dan tidak berdiri lagi.

  "Ooh! Gue paham! Novi! Kelemahan mereka adalah kepala!" teriak gue
  "Oke!" balas Novi

  Kami berdua berhasil menjatuhkan kira-kira 25 zombie. Seharusnya jumlah mereka sisa 5 tapi kok malah tambah banyak? Ditambah lagi, dalang dari semua ini sudah ada di tengah-tengah mereka.

  "Kau lagi!" teriak penyihir tengkorak yang gue temui tempo hari
  "Elu!"
  "Sepertinya aku harus membereskanmu... Tapi sebelum itu..."

Penyihir itu menoleh ke Novi. Gawat! Novi jadi targetnya!

  "NOV! AWAS!" teriak gue
  "Apa?" Novi menoleh ke gue

GLEDER!!

Sebuah petir menyambar Novi. Sial! Terlalu silau, gue gak bisa melihat apa yang terjadi selanjutnya. Tak lama kemudian, cahayanya menjadi redup. Gue melihat ke tempat Novi berdiri tadi. Novi udah tergeletak di tanah. Sial! Dia jatuh juga!

  "Baiklah, selanjutnya" kata penyihir sialan itu dengan bangga

Dia mengayunkan tongkatnya ke arah gue. Tapi gak terjadi apa-apa... Gak ada petir dan gue gak merasa seperti jadi zombie atau apaan. Gue tetep normal-normal aja. Malah giliran penyihir itu yang kaget.

  "A-APA?!" penyihir itu kaget. "Apa yang terjadi?"
  "Itu pertanyaanya gue" keluh gue
  "Ah! Sudahlah, aku akan menyelesaikanmu belakangan... Yang terpenting, kau tidak akan bisa bertahan sendirian"

Penyihir tengkorak itu menghilang tiba-tiba. Novi bangkit berdiri lalu dengan ganas menyerang gue. Gue udah pasti bisa menghindar karena dia lebih lambat.

  "Nov! Ini gue! Zano!" teriak gue

Novi tidak peduli, dia tetap menyerang gue. Sial... Gue gak punya pilihan lain. Maafin gue Novi...

BAK!!!

  Gue memukul Novi tepat di wajah. Novi terjatuh. Dia akan tetap di situ sampai gue berhasil menemukan cara untuk mengembalikannya ke kondisi semula. Untuk sekarang gue harus fokus menghindari zombie-zombie yang ada di sekitar gue.

Gue lihat ke langit. Ada asap kebakaran. Asalnya dari tempat penginapan. Gue gak tau itu pertanda baik atau buruk. Tunggu.... GAWAT! SESIL!!!

Gue gak peduli berapa banyak zombie yang menghadang jalan gue. Gue akan tetap pergi ke penginapan. Gue lebih mencemaskan Sesil.

Salah zombie memegang kaki kakan gue. Berhubung yang megang cuma anak kecil, jadi gue masih bisa menggerakan kaki gue.

Gue liat, ada satu zombie dari kiri mencoba menyentuh leher gue. Gue mengayunkan kaki kanan gue yang sedang dipegang zombie anak kecil ke arah kepala zombie yang di kiri gue. Zombie anak kecil itu menabrak zombie yang di kiri gue. Kaki gue akhirnya lepas juga dari genggaman zombie anak kecil.

Satu zombie mencoba menyergap gue dari belakang. Gue menghajarnya dengan siku gue tepat di kepala. Lalu satu zombie lagi menggengam baju gue dari belakang. Gue langsung memegang tangan zombie tersebut lalu dengan seluruh tenaga gue, gue membanting zombie tersebut ke tanah di depan gue.

Gak tau kenapa, tapi kok mereka tiba-tiba jadi ringan. Entah memang mereka jadi ringan atau gue jadi terlalu bersemangat.

Setelah mengalahkan zombie-zombie yang berada di dekat gue, gue berlari ke arah penginapan. Gak peduli berapa banyak zombie yang menghadang, gue menghajar mereka semua hanya dengan tangan dan kaki gue.

  Akhirnya, setelah menghajar entah-berapa-banyak zombie, gue sampai di depan penginapan. Penginapannya sudah terbakar dan zombie berkeliaran dimana-mana. Mereka menyerang tempat ini juga?!

Gue berlari ke pintu masuk sambil menghajar beberapa zombie yang berkeliaran di sekitar penginapan. Gue gak perlu menghajar semuanya, gue hanya perlu mengurangi jumlah mereka aja siapa tau nanti gue bakal lewat sini lagi.

Gue masuk ke dalam lobby. Staff-staff penginapan semuanya sudah berubah jadi zombie... Bahkan para kawanan yang ada di sini juga! Kecuali Sesil dan Juita. Gue belum melihat mereka berdua. Walaupun gak tega, gue terpaksa menghajar para kawanan yang menjadi zombie.

Hiromi sempat menyerang gue, tapi dia malah kepleset. Di saat dia kepleset, gue langsung mengambil makanan buatan Hiromi yang entah bagaimana, ada di tanah. Tentu aja gue gak makan! Gue memasukan makanannya Hiromi ke dalam mulut Hiromi.

Ternyata masakan Hiromi benar-benar mematikan... Bahkan Hiromi sendiri yang sudah jadi zombie, langsung tidak sadarkan diri dan kejang-kejang. Wow... Benar-benar masakan yang "mematikan".

  "Sesil! Juita!" teriak gue

Dah panas, banyak zombie lagi. Sial apa ya gue hari ini?

  "Kakak!"

Teriakan itu... Gue berlari ke arah sumber suara. Sesil tertindis sebuah kayu. Gue spontan lari melewati bara api. Meskipun gue sendiri gak tahan sama panasnya, tapi bodoh amat! Adik kesayangan gue dalam bahaya!

  "Kakak! Sesil tau Kakak pasti baik-baik aja" Sesil kelihatan senang

Dia masih belum jadi zombie. Kayaknya dia cuma luka karena tertindis kayu aja. Gue mencoba mengangkat kayu tapi panas banget. Sial.

  "Kakak! Di belakang!" teriak Sesil

  Tiba-tiba saja ada yang memeluk gue dari belakang. Gue lihat warna kulit dari tangan yang memeluk gue dari belakang. Biru... Berarti zombie. Wangi ini... Cuma 1 cewek aja adalam hidup gue yang baunya wangi gini... Stella!

Mulut gue ditutup dengan salah satu tangannya. Gue harus berbuat sesuatu sebelum gue digigit.

  "Ssshhh" bisik Stella (yang sekarang jadi zombie)
  "Pinggir!" balas gue
  "Ssssh! Kang! Diem aja!"
  "Ha?"

Stella melepaskan pelukannya lalu menutupi kami dengan karpet warna merah. Gue bingung... Kenapa.... Dia gak nyerang gue?

  "Tunggu, ada beberapa zombie yang akan lewat" bisik Stella
  "Neng... Elu"
  "Hehe, walaupun aku jadi salah satu dari mereka, tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengendalikanku" Stella tersenyum. "Sesil, bertahan sebentar ya"

Setelah menunggu beberapa menit. Stella membuang karpet yang tadi.

  "Sudah aman. Sini Kang... Eneng bantu!"

Stella mengangkat kayu yang panas banget. Gue menarik Sesil. Gue kagum kok dia gak merasa panas ya? Oh iya, dia kan zombie sekarang. Bego amat gue...

  "Sesil" gue melihatnya dengan cemas
  "Udah, Sesil gak apa-apa kok Kak" balas Sesil
  "Maafin Kakak ya"
  "Kakak gak salah apa-apa kok. Sekarang, kita harus cari Kak Juita" usul Sesil
  "Juita seharusnya ada di sekitar sini"

BRAK! KRAK! BAK! BUK!

  Beberapa zombie yang benar-benar rusak tubuhnya terlempar melewati atas kami. Gue lihat ke arah dari mana mereka datang. Juita sedang memegang pedang. Nafasnya ngos-ngosan.

  "Juita" sapa gue
  "Zano! Awas!"

Dia berlari ke arah Stella. Gawat! Dia jangan-jangan mengira kalau... Ah! Gue spontan mengambil panci yan ada di tanah. Tepat ketika Juita mengayunkan pedangnya, gue menangkisnya dengan panci.

KLANG!!!

  "Zano! Apa yang kau lakukan?!"
  "Sabar! Ju! Kembaranmu masih di pihak kita"
  "Tidak mungkin Zan" bantah Juita
  "Ju... Tenanglah sedikit" keluh Stella
  "Rini?" Juita kaget

Juita menghela napas untuk menenangkan dirinya. Sebenarnya gue pengen tanya dia dapet pedangnya itu dari mana tapi ini bukan saat yang tepat.

  "Novi?" tanya Juita
  "Maaf, dia jadi korban" gue menggelengkan kepala. "Sial... Kok bisa kacau balau begini?"
  "Mereka menyerang dengan tiba-tiba. Kalau begitu, kita akan memakai rencana cadangan"

Gue, Sesil dan Stella menatap Juita. Dia punya rencana cadangan?

  "Rencana cadangan?" kata kami bertiga kompak
  "Benar... Rencananya adalah..."
  "Adalah?" kami bertiga semakin penasaran

Juita memejamkan matanya. Suasana menjadi semakin panas (gara-gara api di sekeliling kami tambah banyak).

  "Bertindak semaunya!"
  "Ha?" itulah respon kami bertiga
  "Bertindak semaunya? Kayak gak ada rencana gitu?" tanya gue
  "Benar, musuh bisa mengambil langkah pencegahan terhadap rencana kita karena mereka tau rencana kita... Tetapi... Kalau kita tidak punya rencana dan kita tidak tau apa yang harus diperbuat, maka musuh pun tidak akan bisa memprediksi pergerakan kita"

Tolong bunuh gue... Ini ide terkonyol yang pernah gue dengar dan gue setujui seumur hidup gue.

  "Tapi sebelum itu, kita harus keluar dari sini. Rini, kau mengambil jalan yang berbeda. Kita akan bertemu di sebuah gua tak jauh dari sini ke arah Selatan" kata Juita
  "Baiklah"

************

  Hm... Bertindak semaunya ya? Ada benernya juga sih. Udahlah, intinya sekarang Sesil sudah bersembunyi di gua yang dikatakan oleh Juita. Stella menjaganya. Gue dan Juita pergi bersama-sama dan yah... mengikuti rencana... Yaitu asal menyerang tanpa rencana.

Absurd banget... Ini sama aja dengan maju ke perang tanpa perlengkapan. Tapi rencananya Juita kali ini berjalan lancar. Pergerakan zombie-zombie jadi tidak teratur. Mungkin seperti yang sudah dia bilang, musuh jadi tidak bisa memprediksi pergerakan kami berdua.

Sebenarnya Juita cantik sih... Karena dia kan kembarannya Stella. TAPI setelah gue liat caranya membantai zombie dengan pedang... Gue berubah pikiran. Dia bener-bener menyeramkan. Memang gak sampe terjadi adengan mutilasi sih...

Dia seperti gimana ya? Seperti "berhati dingin" ketika menyerang setiap zombie dengan pedangnya. Gue? Ya gue cuma bisa maen pake kaki dan tangan.

  "Ju, lu yakin gak apa-apa lu menebas setiap zombie dengan pedang lu?" tanya gue
  "Aku hanya menebas yang penampilannya sudah berantakan dan tidak mungkin hidup lagi ketika kembali normal saja seperti yang organ-organ vital sudah tak ada"

Juita tiba-tiba mengayunkan pedangnya ke arah gue, tapi tentu aja lebih lambat. Gue menghindar.

  "APA YANG LU LAKUIN!?" Gue ngamuk
  "Maaf Zano, sesaat aku kira kamu tidak punya muka" ledek Juita
  "Tapi gak perlu sampe pake pedang gitu kalo mau ngeledek gue!??!?!?! Gimana coba kalo kena?!" protes gue
  "Yah tenang saja... Aku akan mengatakan ke adikmu dan Rini kalau kau adalah laki-laki yang pemberani"
  "Kampret! Itu sama sekali membuat gue gak tenang!"

Tiba-tiba muncul dalang dari semua ini. Yep, penyihir tersebut muncul. Dia kaget melihat gue yang masih hidup.

  "Ju, itulah dalang dari semua ini" bisik gue. "Awas petirnya, petirnya yang membuat nasib para Kawanan jadi zombie"
  "Tenang saja"

Penyihir tengkorak itu menunjuk kami berdua. Banyak sekali zombie muncul dari belakangnya. Mereka semua berlari ke arah kami berdua. Gerakan zombie-zombie ini sangat terkoordinasi dengan baik.

  "Wow, sepertinya terkoordinasi dengan sangat baik" puji gue
  "Hubungan antar sesama zombie hanya begitu saja ya?" ledek Juita
  "Apa maksud kalian berdua?" tanya penyihir tengkorak itu

Gue dan Juita menatap satu sama lain. Kami berdua mengangguk secara bersamaan.

  "Lihatlah! Kami akan menunjukan apa yang disebut dengan kerja sama!" kata Juita
  "Benar sekali!" gue bersemangat. "Ayo Juita!"
  "Zano!" balas Juita
  "KUSERAHKAN PADAMU!" teriak kami berdua bersamaan sambil beralri ke belakang

Kami berdua berhenti berlari setelah menyadari bahwa kami sama-sama melarikan diri. Juita malah ngamuk ke gue, ya gue ngamuk juga ke dia.

  "Zano! Seseorang harus tinggal untuk menghajar mereka!" komplain Juita
  "Kenapa harus gue?!" gue balik protes

Penyihir tengkorak itu menggelengkan kepalanya.

  "Aku heran bagaimana caranya dua idiot ini bisa bertahan hidup" keluhnya

  Salah satu zombie mencoba menyerang gue dengan kedua cakar tangannya dari depan. Gue memegang kedua tangan zombie itu. Juita melompat melewati gue, kakinya menginjak kepala gue lalu dia menendang zombie tersebut dengan kakinya yang satu lagi.

Entah kenapa, pikiran kami berdua seolah-olah terhubung. Kami berdua bisa mengkombinasikan gerakan kami berdua. Gue menyerang dengan tinju dan kaki gue sementara Juita fokus bermain dengan pedang yang dibawanya.

Yang gue kagumi dari Juita, dia sama sekali tidak membuat adengan mutilasi walaupun dia mengayunkan pedang dengan ganas.

BAK!

Juita tidak sengaja menendang muka gue.

  "WOI! Kaki lu mengenai muka gue!" gue ngamuk
  "Kakimu menginjak kakiku!" Juita balik ngamuk
  "CUKUP! Aku muak dengan kalian berdua!" teriak penyihir tengkorak itu

Gue dan Juita melihat satu sama lain lalu melihat ke arah penyihir tengkorak itu. Gue menendang zombie yang mendekat ke gue, Juita juga menendang zombie yang mendekatinya. Kami berdua kompak berlari menyerang penyihir tengkorak itu.

Seperti yang gue pikirkan, karena penyihir tengkorak ini lebih suka membiarkan anak buahnya (zombie) membereskan segala sesuatu, maka dia benar-benar parah dalam bertarung jarak dekat.

Gue melakukan tendangan memutar dari depan ke arah pinggulnya sementara Juita melakukan tendangan memutar dari belakang ke arah belakang kepala penyihir tengkorak.

BRAK!!!

Penyihir tengkorak tersebut patah dan jatuh ke tanah lalu terbakar. Zombie-zombie di sekitar berhenti bergerak semuanya kemudian mereka tergeletak di tanah.

  "Hm? Mereka masih jadi zombie... Apa sudah selesai?" tanya gue
  "Mana aku tau" jawab Juita
  "Yah, lebih baik kita bal-"

Gue kepleset. Gue jatuh. Pandangan gue jadi gelap. Argh... Kepala dan perut gue merasa sakit.

*******************

  "1...2...3!" teriak Sesil

BBBZZZZZZ!!!!

  "KUPRETTT!"

Gue langsung membuka mata gue. Gue baru habis disetrum sama Sesil dan Stella. Gue melihat sekeliling gue. Gue ada di sebuah kapal kecil. Ah, Stella udah jadi normal lagi. Ini di mana? Apa yang terjadi? Apakah gue berhasil menghentikan kutukan zombie?

  "Ah! Sesil, yang lain mana?" tanya gue
  "Kakak, tenang sedikit. Mereka di situ kok"

Sesil menunjuk ke belakang kapal. Seluruh Kawanan yang ikut liburan sedang bercanda antara satu dengan yang lain.

  "Syukurlah kalian enggak apa-apa!" sapa gue
  "Ha? Zan! Lu udah sadar ya? Seharusnya kami semua yang bilang begitu" balas Andi
  "Yah.. Gue enggak apa-apa kok. Yang penting zombie-zombie itu udah gak ada" gue garuk kepala

Seluruh Kawanan yang ada terlihat kebingungan dengan apa yang baru gue ucapin, termasuk Sesil dan Stella. Ha? Apa mereka gak inget apa yang terjadi? 

  "Memangnya masakan Hiromi begitu mematikan ya? Gue gak nyangka Zano bakal mimpi tentang zombie di saat dia ada di ambang kematian setelah memakan masakannya Hiromi" bisik Andi ke Novi

Hm? Mimpi? Apa... Aksi gue menghajar para zombie cuma mimpi gara-gara gue memakan makanannya Hiromi? Gak mungkin... Gak mungkin, kalo mimpi gue gak bisa merasakan sakit. Berarti, cuma 1 orang aja bisa memberi penjelasan ke gue...

  "Neng, kembaran lu mana?" tanya gue
  "Di depang Kang..."
  "Oke!"

  Gue berlari ke bagian depan kapal. Juita sedang berdiri di pinggir pagar sambil memandang lautan. Kalo dugaan gue bener, berarti cuma dia dan gue yang inget kejadian itu!

  "Ju!"
  "Ah, Zano? Sudah bangun?" tanya Juita
  "Enggak, masih tidur" jawab gue ngasal. "Ngomong-ngomong apa el-"
  "Ya, aku ingat kok. Aku masih tidak mengerti kenapa para Kawanan sama sekali tidak ingat. Ketika aku melihat tanggal sekarang, ini adalah tanggal keberangkatan kita"

Sudah gue duga! Dia inget!

  "Kalau hari ini adalah tanggal keberangkatan kita ke pulau Kufa untuk liburan... Berarti kita seperti melakukan perjalanan waktu gitu ya?" tanya gue
  "Tidak, aku sudah melakukan penyelidikan. Selama ini, ada sebuah pulau terkutuk misterius yang hanya muncul setiap 100 tahun sekali. Kau tau nama pulau itu? Pulau Kufa. Katanya pulau itu, akan menarik beberapa korban untuk hilang bersamanya. Ketika pulau itu muncul, tetap akan ada orang-orang yang menghilang secara misterius" jawab Juita
  "Berarti... Sejak dari awal, kita memang sudah jadi incaran pulau terkutuk itu"
  "Benar, sepertinya kita sudah mematahkan kutukan itu"

Ha? Mematahkan kutukan? Dia tau dari mana? Juita menunjukan gue tiket liburan yang diberi Andi.

  "Hm? Tujuannya... berubah?! Kita liburan ke Bali?" gue syok
  "Ya... Selain itu, segala dokumen tentang keberadaan pulau Kufa sudah hilang tak berbekas sama sekali. Aku baru saja menelepon temanku yang ahli dalam hal beginian, dia sendiri tidak ingat sama sekali tentang pulau terkutuk itu"
  "Hm... Berarti sebenarnya dari awal tujuan kita liburan adalah Bali. Tapi tepat pada saat bersamaan pulau terkutuk itu memilih kita. Apa mungkin pulau terkutuk itu memanipulasi ruang dan waktu serta ingatan manusia?" gue garuk kepala
  "Mungkin... Mungkin saja. Yang penting, segalanya sudah selesai sekarang iya kan?"

Para Kawanan datang menghampiri kami berdua. Mereka terlihat kebingungan melihat tingkah gue yang rada-rada aneh karena terus-menerus ngomong tentang zombie.

  "Oh iya, Zano... Aku sudah berpikir. Kau punya kemampuan bela diri yang aneh tapi luar biasa" puji Juita.
  "Ya... Tapi lain kali..."

Suasana menjadi hening sesaat. Kawanan kelihatan kebingungan dengan apa yang kami berdua bicarakan.

  "KITA BERDUA GAK BISA LARI PADA SAAT YANG BERSAMAAN!" gue ngamuk
  "JUSTRU ITULAH KENAPA KAMU HARUS TINGGAL WAKTU ITU!" Juita balik ngamuk
  "TAPI ITU SAMA AJA DENGAN GUE HARUS MELAKUKAN SEMUANYA!"
  "BEGO! KAMU ITU KAN LAKI-LAKI!"

Kawanan yang ada menatap satu sama lain.

  "Mereka... Debatin apaan sih?" tanya Andi
  "Kamu saja yang Kakak mereka tidak tau, apalagi kita" jawab Novi

 The End
***************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar