Kamis, 13 Maret 2014

Zano & Kawanan : Arti Seorang Teman Part-3


  "Zano & Kawanan : Arti Seorang Teman" adalah salah satu episode dari cerita berseri "Zano & Kawanan" buatan Green Leaper.

Part sebelumnya, Jurina mencoba memperbaiki hubungan pertemanannya dengan Nadia. Tetapi, masalahnya dari para preman masih belum selesai. Sementara itu, Zano terus mengawasi perkembangan Jurina.

Happy Reading! 


*************
Zano & Kawanan
Arti Seorang Teman
Part-3
Jurina dan Nadia

  Gue, Airi, dan Yui mampir di kafenya Juita. Gue sih karena ada urusan sama Juita. Airi dan Yui, yah... Tau lah... Sebagai pasangan fotografer dan reporter, mereka ada di sini untuk mengambil foto tempat-tempat menarik di kota. Lalu mereka berencana memuat kafenya Juita sebagai berita.

  "Juita-san, apa kau tau tempat ini?" Airi menunjukan foto jalan banjir
  "Tentu saja, jalan itu tidak terlalu jauh dari sini kok. Masa kau tidak tau Airi?" balas Juita
  "Heee, tidak mungkin.... Kukira tempat yang di foto ini adalah tempat wisata"
  "Lu bercanda kan?" tanya gue
  "Soalnya... Di Jepang tidak ada yang seperti ini Zano... Aku ingin sekali berenang" jawab Airi. "Oh Nee!"

Airi merangkul gue. Tatapan matanya benar-benar serius. Kenapa nih anak tiba-tiba jadi serius gitu?

  "Zano, kapan-kapan kita berdua berenang!" bisik Airi
  "Ha?"
  "Hanya kau dan aku"
  "Hmm... Tapi... Sebenarnya yang di foto itu adalah banjir. Gak bagus kalau kita berenang saat orang lain susah" balas gue

Airi menghela napas kecewa.

  "Dia tidak mengertiii" keluh Airi
  "Sudah kukatakan, Zano itu terlalu bodoh untuk mengerti" sambung Juita. "Kalau boleh kusarankan, jangan gunakan kode"
  "Kalian... Merencanakan sesuatu ya?" Gue garuk kepala

Ah bodoh amat.... Yang penting urusan gue baru aja selesai. Saat gue mau berdiri buat keluar, Rizky masuk ke dalam.

  "Oh! Ketemu juga ko Zan!"
  "Yo! Napa?"
  "Ini, tadi ada orang aneh datang ke kantor. Dia ngaku temen ko. Dia meminta aku untuk mengantarkan ini ke ko"

Rizky memberi sepucuk surat ke gue. Gue membaca isi surat itu. Oh! Alamat rumah dari orang yang gue minta tolong ke Screamer untuk dilacak. Gue yakin temen gue yang dibilang Rizky adalah Screamer. Wow, dia bahkan tau tentang Rizky.

  "Oh, ok. Makasih Bro" kata gue. "Rizky? Lu kenapa?"

Rizky menatap Yui, Juita dan Airi dengan serius.

  "Z-Zan... Siapa tiga bidadari ini?" tanya Rizky
  "Oh, Yang ini Airi lalu yang itu teman baiknya, Yui terus yang ini, Juita. Mereka temen gue"
  "Salam kenal" sapa Airi

Rizky menarik gue. Jiah nih anak... Sifat lamanya masih belum ilang juga. Kalau melihat cewek yang cantik di matanya, sifat lamanya kumat dah.

  "Zan, apa benar 3 orang cantik itu teman ko?" tanya Rizky dengan semangat
  "Telinga elu gak tuli kan? Iya lah. Teman gue"
  "Zano, mereka bertiga cantik gileee! Ko tau aku suka yang tipe begitu!" sambung Rizky
  "Yah.... Kumat lagi dah sifat lama lu" balas gue
  "Hei-hei, apa mereka bertiga masih belum punya pacar? Hei, kenalin dong Zan! Kumohon! Kumohon! Kumohon!"
  "Woi, sadar woi" balas gue
  "Zano kenapa hidupmu itu selalu dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Aku iri siaaaal!!! Apa ko ini dewa harem? Ajarkan aku cara supaya bisa mendapatkan cewek! Ayolah! Bantu sa, sa juga tidak mau meninggalkan dunia tanpa memiliki keturunan! Itu akan menjadi kematian yang sia-sia"

Gue cuma garuk kepala. Seisi kafe menatap Rizky yang bertingkah seperti orang aneh ini. Juita berjalan mendekati Rizky lalu merangkul Rizky.

  "Aaaah, Zan... Aku merasa seperti di sur-"

KRAK!

Juita memakai jurus pematah lehernya. Hahaha, ternyata itu tujuannya kenapa dia merangkul Rizky. Rizky langsung pingsan. Tenang aja, Juita tidak benar-benar mematahkan lehernya Rizky. Rizky hanya dibuat pingsan aja.

  "Kau membuat beberapa pelangganku resah" kata Juita
  "Ahaha, Ju... Percuma lu ngomong sekarang. Dia lagi pingsan" gue ketawa


Juita melepaskan Rizky. Rizky langsung tergeletak di tanah. Buat kalian yang modus, lebih baik jangan deketin Juita... Dia itu cewek killer. Dibalik wajahnya yang mempersona, terdapat sifat yang mematikan. Bahkan preman-preman di kampung sebelah aja paling takut sama dia.

  "Kyaa! Lihat! Mulutnya mengeluarkan busa!" Airi menunjuk ke Rizky
  "Udah, tenang aja. Rizky itu manusia tangguh. Nanti dia sadar sendiri tanpa pertolongan" balas gue

Bener apa yang dibilang Airi, mulutnya Rizky mengeluarkan busa. Juita menutupi muka Rizky dengan karung beras sebelum ada yang melihat busa dari mulut Rizky.

  "Apa itu Zano?" tanya Juita sambil melihat ke arah surat yang gue pegang
  "Ooh, alamat rumah dari beberapa orang. Ya udah, gue cabut dulu"
  "Lalu... Bagaimana dengan... Dia" Airi menunjuk ke Rizky
  "Baaah, yang benar saja... Woi, cabul. Bangun, gue tau lu pura-pura pingsan"

***************

  [Bagian ini dilihat dari sudut pandang orang ketiga serba tau]

  Bel pulang telah berbunyi. Seluruh siswa SMA berjalan keluar dari sekolah. Jurina memberanikan diri untuk berbicara dengan Nadia yang sedang berjalan pulang.

  "Nadia. Em, bisa kita berbicara... sebentar?"
  "Apa maumu?"
  "Apakah... Kita... Bisa pulang bareng lagi. Seperti dulu?" tanya Jurina
  "Kau ini kenapa?!" balas Nadia
  "Aku... Maksudku, kita kan teman jad-"
  "Teman? Teman macam apa yang meninggalkan aku di saat aku perlu pertolongan?! Pergi sana! Jangan ganggu aku lagi!"

Nadia berjalan pergi meninggalkan Jurina. Jurina hanya diam.

  "Gagal... Aku memang tidak berguna..." keluh Jurina

Jurina berjalan pulang dengan tidak semangat. Di pikirannya, dia masih sangat merasa bersalah karena masih tidak mampu menolong Nadia pada waktu itu. Dia berpikir, jika dia tidak bisa memperbaiki persahabatannya dengan Nadia, maka dia tidak akan bisa mendapat bantuan Zano.

  "Ini"

Jurina menoleh ke samping. Rini memberinya roti.

  "Kak Rini?"
  "Kalau kamu murung terus, bisa-bisa kulitmu jadi gampang keriputan lho"
  "Bukan itu kak... Aku, gagal memperbaiki persahabatanku. Hidupku memang kacau. Kenapa aku dilahirkan sebagai orang yang selalu merusak segalanya" keluh Jurina
  "Merusak segalanya?" Rini mengangkat alis kirinya
  "Apapun yang aku lakukan... Tetap saja gagal. Haah, mungkin aku tidak pantas jadi teman Nadia yang orang tuanya merupakan orang terhormat"

Jurina menundukan kepalanya. Stella menghela napas panjang.

  "Hidupnya Zano kacau-balau dari waktu dia lahir. Dia selalu merusak segalanya dan selalu gagal. Tapi dia tidak pernah mengeluh sedikitpun. Dia tidak peduli apapun status temannya, dia bahkan rela mempertaruhkan nyawanya"

Rini mengeluarkan sebuah sapu tangan usang yang penuh dengan bercak darah kering. Jurina kaget melihat sapu tangan usang yang penuh dengan bercak darah yang sudah kering itu.

  "Dulu, Zano pernah membelaku saat aku dituduh sebagai pencuri. Dia tetap tidak kehilangan kepercayaanya kepadaku sebagai temannya bahkan di saat semua orang termasuk keluargaku tidak percaya padaku walaupun aku waktu itu sangat membencinya" Rini menatap sapu tangan itu
  "Lalu... Darah yang ada di sapu tangan itu milik siapa?" tanya Jurina
  "Ini adalah darah Zano. Aku tidak pernah mempunyai teman yang bahkan rela menumpahkan darahnya untuk menyelamatkanku. Aku... Pernah dirampok. Saat aku minta tolong, tidak ada yang mau menolong karena mereka masih menuduhku sebagai pencuri. Tapi Zano, datang dan menangkap perampok itu"
  "Apa yang terjadi setelah itu kak?" Jurina menjadi penasaran
  "Dia berhasil menangkap perampok itu dan membuktikan bahwa aku tidak bersalah. Tapi, dia menerima banyak luka tusuk di sekujur tubuhnya. Aku, memakai sapu tangan ini untuk menghentikan beberapa pendarahannya."

Rini mengeluarkan air mata. Dia mencoba menahan tangisnya tapi dia malah jadi benar-benar menangis.

  "Aku... Meminta maaf, karena waktu itu... Aku hanya sangat membencinya. Aku selalu menyakiti hatinya. Aku merasa... Aku tidak pantas menjadi teman. Tetapi, dia hanya tersenyum. Dia bilang, tidak ada satu orangpun yang tidak pantas untuk dijadikan teman. Seorang teman, akan tetap memaafkan kesalahan temannya tidak peduli seburuk atau kesalahan temannya"

Rini mengelap air matanya dengan lengan bajunya.

  "Jurina. Kau dan Nadia... Adalah teman. Jika kau meminta maaf padanya dengan tulus dari lubuk hatimu paling dalam. Dia pasti... Aku yakin... Pasti dia akan membuka hatinya lagi untukmu sebagai teman"
  "Tapi kak, aku tidak pintar berbicara. Aku tidak tau apa yang harus aku katakan" Jurina menggaruk kepalanya
  "Katakan apa yang ada di lubuk hatimu yang paling dalam" balas Rini

Jurina diam sesaat. Dia merenungkan kembali apa yang dilakukannya. Lalu dia mengangguk.

  "Aku akan, tidak... Aku pasti akan memperbaiki persahabatanku dengan Nadia. Terimakasih kak!"

***************

  [Kembali lagi ke sudut pandangnya Zano]

  "Hatchi!"

  Kampret.... Ini bukan penyakit gue. Gue yakin pasti ada orang yang ngomongin gue di suatu tempat. Cuma siapa dan dimana gue gak begitu peduli. Gue lagi menumpang di mobilnya Rizky. Tenang aja, dia udah sadar kok meskipun dia bilang lehernya masih sakit.

  "Ini ya rumahnya?" tanya Rizky
  "Gak salah lagi... Ini rumahnya Jurina" jawab gue
  "Oooh! Jadi dia cewek toh?! Hei, apa orangnya cantik? Kenalin dong Zan!"
  "Kumat lagi dah..." gue garuk kepala. "Ayo kita pergi!"
  "Tunggu! Aku penasaran Jurina itu seperti bagaimana orangnya..." protes Rizky
  "Woi-woi-woi, gue gak tau elu lagi berpikiran cabul seperti apa lagi tapi lu bisa enggak bertobat?!"
  "Tapi Bro!"
  "Haaah, ya udah kalau begitu gue jalan kaki aja"

************

  [Bagian ini dilihat lagi dari sudut pandang orang ketiga serba tau]

  Hari sudah malam. Jurina mengikuti Nadia yang sementara berjalan di bawah jembatan yang sepi. Bawah jembatan ini adalah tempat yang dulunya sering mereka berdua lewati saat pulang. Nadia berhenti di tengah jalan.

  "Nad"
  "Kau lagi! Apa maumu?!" bentak Nadia
  "Aku... Aku ingin minta maaf!" Nadia membungkukan badannya
  "Hah?"
  "Se-Seharusnya, waktu itu... Aku menolongmu... Tapi... Aku malah melarikan diri. Kumohon, maafkan aku! Aku berjanji, aku tidak akan lari lagi! Karena... Kau adalah teman baiku" sambung Nadia
  "Kau ini semakin menjengkelkan tau tidak!"

Nadia mempercepat langkahnya. Jurina hanya diam melihat temannya itu berjalan pergi meninggalkannya.

  "Gagal..." keluhnya

Jurina melihat preman-preman yang dulu membuat persahabatannya dengan Nadia buruk mengikuti Nadia.

  "Haaah, gawat.... Apa yang harus kulakukan?" gumam Jurina. "Tidak! Tidak! Aku tidak akan lari lagi..."

Jurina memberanikan dirinya mengikuti preman-preman itu. Sesuai dugaanya, preman-preman itu menghadang jalan Nadia dan meminta uang secara paksa. Jurina membenarkan posisi kacamatanya.

  "Gawat... Apa yang harus kulakukan?" Jurina menggigit jarinya. "Pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan... Pasti!"

Jurina mengambil batu lalu melemparkannya ke seberang jalan yang ada tumpukan seng. Tentu saja hal itu menghasilkan keributan. Ketika sebagian besar preman mengecek sumber keributan itu, Jurina datang menghampiri Nadia yang hanya dijaga 1 preman.

  "Jurina?" Nadia kaget melihat temannya
  "Oh! Kamu. Ini berkah.... Kami dapat memalak dari korban yang-"

BAK!

Jurina memukul preman itu dari hidung sekuat mungkin. Saat preman itu kesakitan, Jurina menarik tangan Nadia lalu mereka lari bersama.

  "Jurina? Kenapa?" tanya Nadia
  "Aku sudah berjanji... Aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Karena... Kita ini teman!" jawab Jurina

Sayangnya, mereka berdua tidak bisa berlari terlalu jauh karena para preman lebih cepat. Ditambah lagi, Jurina tidak sengaja menjatuhkan kacamatanya di tengah-tengah jalan.

  "Gawaat.... Nadia! Lari!" kata Jurina
  "Tidak!" balas Nadia
  "Nadia?"
  "Kita... Kita adalah teman baik! Aku tidak mau meninggalkan teman baiku!"

Para preman mengepung mereka berdua.

  "Bawa mereka ke tempat persembunyian kita" perintah pemimpin preman itu

**************

  [Kembali ke sudut pandang Zano. Ini terjadi tak lama setelah kejadian di atas]

  Gue memungut sebuah kacamata dari tanah. Ini... Kacamatanya Jurina. Hm.... Gue memeriksa debu di jalan. Ada beberapa jejak sepatu di tanah. Gue mengikuti jejak itu sampai di semacam sebuah tempat yang dipagari seng. Mirip sebuah tempat persembunyian.

Ada 5 orang yang menjaga pintu masuk. Gue berjalan mendekati pintu tapi dihadang oleh kelima orang itu. Di depan pintu masuk itu, ada gelang yang dipakai Jurina. Gak salah lagi... Dia dibawa masuk ke sini.

  "Hei! Bocah! Pergi pulang sana!" usir salah satu penjaga
  "Oh, maaf. Gue harus masuk ke sana" balas gue
  "Udah kami bilang... PERGI!"
  "Yah... Baiklah kalau begitu. Gue akan masuk secara paksa"

Gue menghajar kelima penjaga lalu mendobrak pintu. Di dalam ada beberapa preman lagi dan Jurina serta temannya yang sedang diikat di kursi.

  "Kak Zano!" teriak Jurina
  "Yo! Elu baik-baik aja kan?"

Gue berjalan menghampiri Jurina dan temannya sambil menghajar siapapun yang mencoba menghalangi gue. Gue melepaskan mereka dari ikatan. Hm? Mukanya Jurina kok... Dikit babak belur ya?

  "Woi, muka lu kenapa?" tanya gue
  "Dia.. Dihajar oleh mereka kak" jawab temannya
  "Elu yang namanya Nadia kan?"
  "Kok kakak tau?" tanya Nadia
  "Nanti gue jawab. Kenapa elu gak lari?" tanya gue
  "Aku tidak mungkin meninggalkan temanku!" jawab mereka berdua kompak

Gue menganggukan kepala gue. Baguslah. Sepertinya masalah antara mereka berdua udah teratasi. Gue memberi Jurina gelangnya dan memakaikannya kacamata miliknya yang gue temukan tadi. Kasian juga mukanya babak belur.

  "Siaaal bung.... Elu benar-benar dihajar sama para banci kaleng ini" gue menepuk kepalanya Jurina. "Tapi... Gue bangga... Heheh"
  "Kak Zano..." Jurina tersenyum
  "Mulai sekarang..." gue senyum. "Elu... Adalah teman gue juga! Nadia, elu juga jadi teman gue!"

Nadia kebingungan. Jurina menangguk lalu kami berdua tos. Gue berdiri lalu berbalik menghadap ke para preman yang tersisa. Lebih banyak preman masuk ke dalam ruangan. Mereka semua mengeluarkan pisau.

  "Kak Zano, hati-hati!" kata Jurina
  "Z-Zano!? Zano... Si iblis pembawa bencana?" kata salah satu preman
  "Jurina, Nadia. Mana bos dari para banci kaleng ini yang udah mengganggu kalian dari dulu?" tanya gue
  "Yang itu kak" Nadia menunjuk salah satu preman
  "Kami tidak peduli kau itu si iblis atau bukan. Siapapun yang berani menggangguku. Akan menerima akibatnya!" ancam bos preman. "Kau hanya bocah!"

Gue berjalan mendekati para preman. Mereka semua malah mundur secara perlahan.

  "2 anak SMA yang kalian perlakukan secara kasar itu... Adalah teman-teman gue. Gue akan memastikan kalian menyesal seumur hidup karena sudah menyakiti teman gue" kata gue
  "Bos, kabar dari geng sebelah, dia yang menghajar 50 anggota mereka sendirian tanpa terluka sedikitpun" kata salah satu preman
  "Bocah ini? Liat aja mukanya! Gak jelas gitu! Dan liat! Dia aja gak punya senjata! Hajar dia!"

  Gue menghajar mereka semua. Hoahm, sama sekali gak menantang. Gerakan mereka gampang dibaca, pola serangan mereka gak beraturan, dan fisik mereka semua gak ada satupun yang kuat. Cuma dengan sekali pukul aja mereka jatuh dan nangis di tanah.

Tak lama kemudian, Rizky datang membawa banyak sekali Polisi bersamanya. Mereka semua termasuk Jurina dan Nadia kaget melihat gue sendirian melawan para preman ini.

  "Yo! Rizky! Sori Bro! Gue gak sempat sisain satu buat lu hajar!" gue melambaikan tangan
  "Ko bener-bener gak berubah... Gak heran ko dijuluki si Elang Iblis"
  "Bah, mereka ini bukan tantangan" balas gue

************

  Para preman ditangkap. Gue melihat Jurina dan Nadia udah sangat akrab. Kayaknya... Jurina dan Nadia akhirnya setuju untuk meninggalkan masa lalu mereka.

  "Seperti biasa, Akang memang suka tawuran"
  "Wooo! Juita!" sapa Rizky
  "Bukan... Ini kembarannya, nama aslinya Rini tapi biasa gue panggil Stella" gue mendorong kepalanya Rizky
  "Seseorang! Tolong hajar si mesum itu sebelum dia kumat!" teriak salah satu teman Polisinya Rizky
  "Wooo! Hei, cantik apa kau mau jadi pacark-"

Stella langsung merangkul Rizky.

  "Yes! Sersan! Lihat! Aku bukan jomblo lag-"

KRAAAK!!

Stella mempraktekan jurus pematah leher yang sama persis seperti milik Juita. Rizky langsung tidak sadarkan diri. Gue menahan tawa.

  "Maaf" kata Stella
  "Tidak apa-apa, justru lebih bagus si mesum itu begitu" balas salah satu petugas Polisi

Stella melepaskan Rizky. Rizky jatuh ke tanah... Seperti sebelumnya... Mulutnya mengeluarkan busa lagi.

  "Apakah, dia tidak apa-apa kak?" tanya Nadia
  "Yah, dia nanti sadar sendiri" jawab gue
  "Kak Zano, kak Rini... Terimakasih!" kata Jurina. "Berkat kakak... Kami sekarang menjadi teman baik lagi"
  "Gak perlu berterimakasih. Kalian berdua yang membuka hati kalian sendiri untuk satu sama lain. Yang namanya teman itu, selalu ada tempat untuk kawannya" balas gue

Stella, Jurina dan Nadia cuma bisa tersenyum.

  "Gue gak peduli status kalian. Mau orang kaya kek, orang miskin... Kita semua pada dasarnya hanya sama. Status itu... Hanya sebuah ilusi dan tembok pembatas. Gue tidak memerlukan ilusi ataupun pembatas. Ilusi suatu saat akan hilang, tembok pembataspun suatu saat akan runtuh"
  "Aku... Tidak mengerti kak" kata Jurina
  "Ketika kalian berteman, apakah kalian pernah memikirkan alasan kenapa kalian berteman?"

Jurina dan Nadia menatap satu sama lain untuk sesaat lalu menggelengkan kepala mereka secara bersamaan.

  "Berarti, kalian udah paham apa itu arti seorang teman. Kalian berteman tanpa memikirkan perbedaan diantara kalian. Kalian tidak menjadikan perbedaan kalian sebagai sebuah penghalang. Suka-duka kalian lalui bersama. Itulah... Arti dari seorang teman... Setidaknya, itu yang apa gue pahami dan gue yakini" sambung gue

Jurina dan Nadia tersenyum. Mereka bercerita kembali tentang kekompakan mereka berdua. Gue tersenyum melihat kedua teman gue ini.

Kriiing!

Gue mengangkat HP gue.

  "Yo Ses?"
  "Kakak! Rumah kebanjiran Kak!"" balas Sesil sedikit panik
  "AAAAARGH! Tunggu di sana ya Ses! Kakak pulang sekarang!"

Gue menutup telepon dan langsung berlari secepat mungkin.

  "Lho? Kang? Akang mau ke mana? Akang diperlukan untuk memberi penjelasan di kantor Polisi nanti!" teriak Stella
  "Persetan dengan keterangan! Gue lupa matiin keran cuci piring!" balas gue sambil terus berlari
  "Apa, kak Zano selalu begitu?" tanya Jurina
  "Yah, begitulah Zano yang kukenal.... Dia memang bermasalah, tetapi... Dia selalu ada untuk teman-temannya" jawab Stella sambil melihat gue

The End
*************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar