Jumat, 14 Juni 2013

The Revenge Opening

 
Pulau Kehidupan, sebuah pulau buatan di samudera pasifik....

   Sekumpulan anak-anak sedang sibuk bermain di sebuah lapangan. Ada yang bermain bola, ada yang bermain pasir. Tawa dan canda mereka menghiasi hari yang cerah.


  "Hey Miyuki! Kau mau main bola tidak?" tanya seorang anak laki-laki berambut merah datang menghampiri seorang anak perempuan cantik dan manis yang sedang duduk membaca buku. Rambutnya berwarna hitam dan sedikit panjang.
  "Ehm... Tidak" jawab Miyuki dengan ragu-ragu.
  "Hey Tesuko. Dasar bodoh kau ini! Mana mungkin Miyuki mau bermain bola?" ujar seorang anak laki-laki lain yang berambut hitam memukul kepala Tetsuko secara halus.
  "Uwaa Genta, Ya siapa tau dia mau bermain?" keluh Tetsuko sambil menggaruk-garuk kepalanya
  "Ah iya Miyuki, tumben kau duduk di sini. Biasanya kalau jam begini kau latihan pedang" tanya Genta
  "Ah, aku juga sebenarnya ingin bermain tapi aku tidak tahu peraturanya" jawab Miyuki
  "Hoi, tenang saja. Aku dan anak-anak lainya bisa mengajarkanya padamu" balas Tesuko

Miyuki hanya tersenyum. Tiba-tiba seorang bapak-bapak yang sepertinya berumur 30an datang menghampiri mereka bertiga. Tesuko dan Genta kaget melihat bapak itu. Langsung mereka membungkuk.

  "Selamat siang anak-anak" sapa bapak itu
  "Ah, selamat siang Professor Kafto!" balas Tesuko dan Genta

Bapak itu adalah Professor Kafto. Seorang proffesor yang dikenal karena kejeniusanya. Beliau juga adalah ayah dari Miyuki. Professor Kafto sering bertugas keluar kota dan sering meninggalkan keluarganya demi pekerjaanya sebagai peneliti.

  "Ayah! Ayah kenapa pulang lewat sini?" Miyuki langsung memeluk Ayahnya
  "Ayah hanya kebetulan lewat saja" jawab Prof Kafto
  "Ah, Professor! Maukah anda... mengajari kami beberapa hal? Apa saja? Kami mohon" tanya Genta dan Tesuko
  "Ahaha, baiklah akan kuberi tahu kalian beberapa hal. Tapi besok saja ya di rumahku" ujar Prof Kafto
  "Baik! Terimakasih Professor!" balas Genta dan Tesuko
  "Miyuki, ayah ingin menunjukan sesuatu untukmu. Ayah yakin kau pasti akan sangat senang" kata Prof Kafto.
  "Waah, benarkah?" Miyuki terlihat sangat senang

*****

  
Di rumah kediaman Miyuki...

  "Tapi say, apakah kamu yakin ini sudah waktu yang tepat? Bukankah umurnya masih terlalu kecil?" ujar Natsumi, ibu dari Miyuki.
  "Natsumi, meskipun umur dari anak kita masih kecil tapi rasa ingin tahunya dan semangat juangnya sangat tinggi" balas Prof Kafto
  "Tapi...Tapi.."
  "Jangan khawaktir. Anak kita bisa dipercaya"

Prof Kafto kemudian membuka sebuah pintu rahasia. Di balik pintu itu ada sebuah pedang. Mungkin Katana. Mata Miyuki berbinar-binar, wajahnya menunjukan bahwa dia sangat gembira. Prof Kafto mengambil pedang itu dan menunjukanya pada Miyuki.

  "I-Itu kan..." Miyuki tampak terkagum-kagum
  "Ini adalah pedang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ayah rasa, sudah waktunya untuk kau memilikinya"
  "Waah" Miyuki tampak senang. "Eh, tapi bukanya aku masih terlalu kecil untuk memegan pedang asli?" tanya Miyuki.
  "Ah, tidak juga. Ayah yakin kau bisa dipercaya"

Miyuki sangat gembira. Dia mengambil pedang itu dari tangan ayahnya.

  "Kemanapun kau pergi, dan apapun yang kau lakukan... Jangan sampai pedang ini hilang. Kau mengerti?" tanya Prof Kafto.
  "Ya! Aku mengerti ayah" jawab Miyuki.

Natsumi hanya bisa percaya kepada anaknya itu. Sebenarnya dia masih khawaktir kalau pedang itu akan melukainya tapi dia yakin kalau sampai suaminya bisa mempercayai anaknya berarti memang anaknya bisa dipercaya.

  Prof Kafto kemudian membawa Miyuki ke suatu taman yang tidak terlalu jauh dari rumah. Di sana, ada beberapa orang-orangan sawah yang sengaja dibuat oleh Prof Kafto. Miyuki kemudian mulai berlatih lagi dengan pedang itu.

Tapi Prof Kafto mendapat telepon sehingga dia harus meninggalkan Miyuki bermain sendirian di sana. Miyuki tak bisa berbuat apa-apa selain lanjut berlatih. Ketika sementara berlatih, sebuah bola jatuh tepat di depan Miyuki.

  "Ah! Di situ!"
  "Dasar bodoh, sudah kubilang kau jangan menendang terlalu kuat!"

Miyuki menoleh ke arah datangnya suara. Tetsuko dan Genta berjalan menghampirinya. Napas mereka berdua terputus-putus entah apakah karena lelah berlari atau berdebat.

  "Aha, maaf Miyuki. Kami tidak sengaja" ucap Genta
  "Hoi, i-itu pedang asli kan?" tanya Tetsuko
  "Ah iya... Tidak apa-apa. Ini memang pedang asli"
  "Hebat ya. Umur begitu sudah belajar dengan pedang asli" puji Tetsuko

BLEDAR!!!!

Tiba-tiba terdengar beberapa suara ledakan yang sangat keras. Terjadi guncangan yang sangat kuat untuk sementara. Saking kuatnya, bahkan mobil-mobil yang sedang parkir bisa terbalik. Guncangan tersebut terasa pada seluruh pulau. Suasana menjadi hening sesaat. Miyuki, Tetsuko dan Genta jatuh akibat guncangan.

  "A-apa-apaan itu tadi?! Belum pernah aku merasakan gempa sehebat itu" kata Tetsuko
  "Aaaaa! Lihat itu" Genta menunjuk ke udara

Miyuki dan Tetsuko melihat ke udara. Warna langit berubah menjadi merah darah. Sebuah awan besar berbentuk tengkorak manusia dapat terlihat dengan jelas.

  Seketika kota-kota menjadi sedikit ramai. Orang-orang berlarian keluar untuk melihat apa yang terjadi. Mereka semua kebingungan. Ketiga anak kecil ini berlari ke sebuah jalan raya yang tidak terlalu jauh. Mereka bertiga terkejut dengan apa yang mereka lihat.

Semacam gerbang dimensi muncul di tengah-tengah jalan raya. Tidak ada yang berani mendekati gerbang aneh itu. Semua orang hanya bingung melihat gerbang itu.

  "Psst, Miyuki. Apakah kau tidak merasa aneh berjalan dengan pedang itu di tanganmu?" bisik Tetsuko
  "Ah, tenang saja. Aku simpan di sabuknya" jawab Miyuki
  "Hm... Kau aneh" balas Tetsuko

  Tiba-tiba sesosok prajurit tengkorak keluar dari dalam gerbang dimensi itu. Posisinya berlutut dengan kepala menunduk ke bawah. Tulang belulang itu berpakaian layaknya seorang samurai. Sepasang bola mata kecil berwarna merah darah mulai perlahan-lahan tampak di lubang matanya. Dia mengankat kepalanya. Memandang semua orang di sekitar.

  "Wahai umat manusia..." sosok itu berdiri secara perlahan. "Nama panggilanku adalah... Blackheart" Tengkorak itu menghunus pedangnya dan mengacungkanya ke salah satu orang di depanya. "Sekarang adalah waktu yang tepat untuk sebuah era baru..."

Beberapa prajurit tengkorak lainya beserta beberapa mayat yang berjalan keluar dari dalam gerbang.

  "Anggap saja diri kalian beruntung... Karena kalian adalah saksi pertama... dari bangkitnya era KEGELAPAN!" Blackheart langsung menancapkan pedangnya ke tanah. Sebuah makhluk aneh yang sepertinya gabungan dari beberapa mayat manusia muncul tiba-tiba.

Monster itu mulai mengamul. Orang-orang mulai panik berlarian.

  "Gawat! Ayo kabur! Miyuki, Genta!" ajak Tesuko
  "Tidak perlu diberi tau juga aku sudah tau!" balas Genta

Tetsuko dan Genta berlari menjauhi Blackheart dan pasukanya. Tapi ketika mereka belum berlari terlalu jauh, mereka berdua berhenti kemudian saling menatap satu sama lain.

  "MIYUKI!" teriak mereka berdua kompak melihat Miyuki berlari menyebrangi taman. Padahal dari jalan saja sudah terlihat bahwa situasi di sebelah taman lebih kacau.
  "Ah! Ngapain juga dia pergi ke sana?!" keluh Genta
  "Jangan-jangan dia pergi menyusul keluarganya!" ucap Tesuko
  "Wah! Keluarga kita juga dalam bahaya!" teriak Genta panik.

Sementara itu, Miyuki berlari. Di dalam benaknya hanya keluarganya saja. Setelah berlari melewati kekacauan di kota dan menghindari pasukan kegelapan. Dia berhasil masuk ke dalam rumahnya yang berantakan.

  "Ayah! Ibu!" teriak Miyuki dengan cemas.

Miyuki mendengar sebuah suara aneh dari dapur. Miyuki berlari ke dapur. Sesampainya dia dapur, dia sangat syok melihat apa yang dilihatnya.

  Jasad ibunya tergeletak di tanah. Termutilasi menjadi berbagai potongan kecil. Yang paling buruk, sesosok zombie sedang mengunyah potongan tangan dari jasad ibunya.

  "IBU!!!!!" Teriak Miyuki dengan berlinangan air mata.

Zombie itu berhenti mengunyah. Dia menatap Miyuki. Zombie itu berdiri kemudian menjulurkan lidahnya. Penampilanya sangat mengerikan. Darah berlepotan di mana-mana. Tubuhnya sangat kurus tapi dia memakai baju seorang prajurit jaman pertengahan.

  "Makan" ucap zombie itu sambil mulai berjalan mendekati Miyuki.

Miyuki masih syok. Dia menatap jenasah Ibunya. Air mata mulai mengalir. Tubuhnya lemas, akibatnya dia tidak bisa bergerak sama sekali. Ketika zombie itu hampir memegang Miyuki, Prof Kafto tiba-tiba mendorong zombie itu ke samping lalu membunuh zombie itu dengan palu.

  "Miyuki! Ayo kita harus pergi sebe-"

PRANG!

Tiba-tiba Blackheart menerobos kaca. Posisi Blackheart tepat di belakang Prof Kafto.

  "Professor Kafto ya?" Blackheart menatap Prof Kafto
  "Apapun kau, jangan berani-berani mendekati anaku!"
  "Aku sama sekali tidak tertarik dengan anakmu itu" balas Blackheart. "Kau merupakan sebuah ancaman bagi tujuan kami... Setiap ancaman... Harus dimusnahkan" Blackheart menghunus pedangnya.

Miyuki tampak tambah syok, stres dan sangat bingung. Saking tegang, Miyuki tidak sadar bahwa zombie lain di belakangnya. Zombie itu langsung menarik Miyuki menjauh dari ayahnya.

  "Dapat bos!" jawab zombie itu.
  "AYAH!" Miyuki sudah benar-benar bingung
  "Ah?" Prof Kafto menoleh ke belakang. Pada saat itulah, dia ditikam dengan pedang di perut oleh Blackheart.
  "Heh, menyedihkan" Blackheart menatap ke arah zombie. Zombie itu hanya mengangguk lalu menggigit Miyuki.
  "Kyaaa!!"

BRUAK!

  Tiba-tiba ada seorang prajurit memakai seragam pasukah khusus berwarna hitam mendobrak pintu. Seluruh tubuhnya dari atas kepala sampai ujung kaki tertutup seragamnya. Wajahnya ditutupi gasmask S10. Prajurit itu tampaknya masih sangat muda. Dia menatap seisi ruangan.

  "Ah? Apa-apaan ini?" ucap prajurit itu
  "Selamatkan anaku!" teriak Prof Kafto
  "TIDAK! SELAMATKAN AYAHKU!" teriak Miyuki walaupun pundaknya sedang digigit
  "Pilihanmu... Prajurit..." tantang Blackheart sambil menatap prajurit itu. "Buat keputusanmu... dengan bijak..."
  "Sial" keluh Prof Kafto sambil mengeluarkan sebuah bom dari sak miliknya.

Seisi ruangan syok. Prof Kafto tanpa ragu mengaktifkan bom waktu itu.

  "Ugh... Manusia... Kolonel! Kita mundur!" perintah Blackheart sambil mencabut pedangnya dari perut Prof Kafto.
  "Laksanakan!" Zombie itu melepaskan gigitanya.
  "Ayah!" Miyuki sekarang tergeletak di tanah
  "Haunter... tolong. BAWA MIYUKI KELUAR!" teriak Prof Kafto pada prajurit itu sebelum menghembuskan napas terakhirnya.

Haunter tanpa ragu langsung menggendong Miyuki. Miyuki mencoba memberontak tapi dia terlalu lemas. Dia hanya bisa menangis sementara Haunter berlari membawanya keluar.

  "BERHENTI! APA YANG KAU LAKUKAN?! AYAHKU MASIH DI DALAM SANA!" teriak Miyuki pada Haunter.

BLEDAR!!

  Terjadi sebuah ledakan pada rumah Miyuki. Miyuki hanya bisa menatap ledakan itu. Air matanya semakin banyak yang keluar.

Miyuki melihat sekelilingya. Situasi benar-benar kacau. Jalanan dipenuhi dengan orang-orang yang panik mencoba melarikan diri dari pasukan kegelapan. Polisi, Militer dan beberapa prajurit misterius yang memiliki seragam yang berwarna sama seperti Haunter terlihat sedang menembak pasukan kegelapan.

Bunyi tembakan menambah kekacauan yang ada. Mayat-mayat berserakan. Seluruh jalan dipenuhi dengan darah dan selonsong-selonsong peluru. Helikopter dan pesawat sibuk bertarung dengan makhluk-makhluk aneh di udara.

Miyuki menutup bekas gigitan di pundaknya. Haunter langsung menaruh Miyuki di dalam sebuah Humvee.

  "Kita kehilangan pasukan terlalu banyak! Kita harus mundur sekarang!" kata pengemudi Humvee pada Haunter.
  "Kami harus kembali ke pangkalan!" kata Haunter

Kemudian Humvee itu melaju dengan cepat. Miyuki hanya bisa menangis. Mukanya pucat. Dia baru saja kehilangan sesuatu yang sangat disayanginya. Yaitu keluarganya. Dia telah melihat terlalu banyak pembunuhan dan kesadisan yang seharusnya tidak boleh dilihat oleh anak kecil. Apalagi luka gigitan zombie membuatnya menjadi semakin pucat.

  Hari itu juga... Seluruh pulau kehidupan jatuh ke tangan pasukan kegelapan. Haunter dan Miyuki berhasil keluar dari pulau itu melewati jembatan penghubung antar pulau tepat sebelum jembatan itu diledakan untuk mencegah pasukan kegelapan keluar pulau.

Miyuki mungkin selamat tapi kejadian hari ini meninggalkan luka batin yang teramat sangat dalam di hati kecilnya. Perasaan takut, marah, sedih dan sakit bercampur jadi satu. Air matanya terus keluar.

*****
Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar