Zano
& Kawanan : Mengejar Impian adalah sebuah cerita dari title "Zano
& Kawanan" buatan Leaper. Entah apa yang memotivasi Leaper untuk
menulis cerita ini.
Part sebelumnya
Happy Reading!
Part sebelumnya
Happy Reading!
*****
Zano & Kawanan
Mengejar Impian
Part-8
Satu hari!
Gue lagi bersihin salah satu toko miliknya Andi pagi ini. Sesil dan para cewek belum kembali dari latihan. Untung gue udah kasih kunci ke Sesil. Meskipun Screamer dan para cewek lain ada bersamanya, tetep aja gue takut Sesil kenapa-napa.
Seharusnya pegawai lain yang bersihin tapi berhubung pegawainya lagi sakit, jadi terpaksa harus ada yang mau bersihin toko. Kebetulan gue itu orang yang paling dekat dengan toko yang di kota, jadi gue bersihin aja.
Gue sendirian... Secara teori. Si Miranda masih tetep ngikutin gue. Jujur, meskipun dia itu bisa dianggap saudaranya casper tapi gue tetep ngeri dibuntuti melulu. Bodoh amat... Paling tidak gue gak sendirian lah.
"Eh, Mir. Gue penasaran aja. Kenapa yang lain gak bisa lihat lu?" tanya gue sambil menyapu lantai
"Aku menampakan diri untuk orang yang aku ingin mereka melihatku" jawab Miranda sambil melayang beberapa centimeter dari tanah.
"Lalu Screamer?" tanya gue
"Ah, aku tidak tau. Memangnya Screamer bisa melihat arwah?" tanya Miranda
"Mana gue tau? Seharusnya gue yang bertanya seperti itu!"
"Hm... Bagaimana kalau kau bertanya secara langsung padanya?"
"Mana dia mau jawab? Bukanya elu bisa baca pikiran orang?"
"Khusus untuk Screamer... Aku tidak bisa membaca pikirannya" Miranda menggelengkan kepalanya
Bahkan Miranda gak bisa membaca pikirannya Screamer. Memangnya Screamer se-misterius itu ya? Hm... Memang masih banyak misteri yang belum terkuak dari sosok aneh itu.
"Ah, sudah pagi hari ya?" Miranda melihat keluar toko
"Yoi, baru jam 3 kok. Gue aja gak sempat pulang buat tidur sama mandi"
"Huaaaah" Miranda menguap. "Lebih baik aku pergi dulu. Sampai jumpa nanti... Zano"
"Eh? Elu memangnya perlu tidur juga?"
Belum sempat pertanyaan gue dijawab, Miranda udah terbah menembus tembok. Sekarang gue sendirian... dan ngantuk. Tidak lama kemudian, ada orang yang masuk ke dalam toko.
"Maaf, kami belum buka... Lho? Novi?"
"Sesil ketiduran lagi" kata Novi
"Gawat... Mana gue belum selesai bersih-bersih toko lagi!"
"Tenang aja, Rini udah gendongin ke rumah tuh" kata Novi
"Ha? Yang bener?!"
Gue langsung cepet-cepet membersihkan toko. Novi gak tahan dengan debu jadi dia berlari keluar. Setelah gue membersihkan toko, gue langsung mengunci pintu dan berlari kembali ke kampung. Novi? Kebingungan melihat gue.
Gue gak peduli udah berapa jauh gue berlari. Gue sendiri gak tau kenapa gue malah berlari-lari ke rumah. Sekarang gue udah di dalam kampung. Ketika gue sementara berlari. Tiba-tiba ada kayu membentang di depan gue. Gue gak bisa menghindar...
BRUAK!
Gue menabrak kayu itu. Gue langsung jatuh ke tanah. Sakit kampret! Ini siapa lagi yang naruh kayu sembarangan setinggi ini?!
"Ton, udah gue bilang. Kayunya kurang tinggi!" kata Andi
"Kurang tinggi apanya?! Zano aja yang ketinggian!" bantah Anton
"Kayunya yang kurang tinggi kampret!" gue marah
"Bukannya elu yang ketinggian?" tanya Anton
"Heh! Elu yang kependekan!" keluh gue
"Lagian ada apa Zan? Kok lagi terburu-buru? Toko udah lu bersihin?" tanya Andi
"Udah. Udah gue bersihin kok. Elu lihat adik gue enggak?" tanya gue
"Enggak. Elu lihat adik gue enggak?" Andi malah bertanya
"Eh, adik gue mana ya?" tanya Anton
"Elu gak punya adik!" jawab gue dan Andi kompak
"Gue mau ke pulang dulu!"
Gue kembali berlari (tentu aja, tanpa menabrak apa-apa kali ini). Gue membuka pintu rumah cepat-cepat lalu...
BRUAK!
Kampret... Ada yang masang kayu lagi... Kali ini di belakang pintu gue. Menurut analisa gue, yang bisa masuk rumah gue cuma Sesil. Berhubung Stella menggendong Sesil, berarti dia juga masuk. Tapi kayunya itu lho.
"Ah, Akang... Kirain siapa" sapa Stella dari dalam rumah gue
"Siapa yang naruh kayu di sini?" tanya gue dengan muka kusam
"Ah... Itu... Tadi Screamer datang. Dia minta tolong buat mengetes daya tahan kayu ini. Katanya kalo kepalanya Akang kejedos terus kayunya tidak patah. Berarti kayu itu pantas untuk pembuatan gapura yang baru" jawab Stella
"Sekeras itukah kepala gue?" tanya gue
"Paling tidak cukup keras"
"Screamer?! Sejak kapan lu ada di situ?" gue kaget
Screamer melepas kayu dari pintu. Dia memikulnya, membantu gue berdiri. Lalu menepuk jidat gue dengan tangan kanannya.
"Tenang saja. Kepalamu cukup keras... Kau tidak akan apa-apa" Screamer berjalan pergi. Kampret tuh makhluk...
"Akang enggak apa-apa?" Adiknya Andi langsung melihat kepala gue yang kejedos tadi
"Enggak apa-apa kok Neng. Sesil mana?"
"Di dalam. Dia lagi tidur kok di kamarnya"
Gue dan Stella masuk ke dalam. Gue mengetuk pintu kamarnya Sesil. Karena enggak ada panggilan dari dalam. Gue ngintip. Adik kesayangan gue lagi tertidur pulas. Gue enggak mau gangguin dia jadi gue tutup kembali pintu kamar.
Gue menatap ke Stella. Gila, dia enggak kelihatan capek sama sekali. Adiknya Andi memang bener-bener tangguh. Mungkin karena latihan berat yang diajarkan Screamer dari dulu membuatnya lebih kuat daripada cewek-cewek lain di Kawanan.
"Dari seluruh anggota, yang paling bersemangat adalah Sesil" kata Stella "Karena Sesil, kita jadi semangat buat melalui latihan"
"Ehm... Gak capek Neng?" tanya gue
"Ahaha, enggak kok Kang"
"Ya... Kalau begitu... Berhubung udah hampir jam makan pagi. Eneng tidur aja dulu di kamar Akang. Bersih kok dan gak pernah dipake. Akang lebih suka tidur di sofa. Akang mau siapin sarapan"
"Memangnya Akang tau masak?" tanya Stella dengan nada meledek
Mati... Gue gak tau masak. Seluruh warga kampung juga tau kalo gue itu gak bersahabat dengan yang namanya masak-memasak. Gue selalu saja menggosongkan apa saja... Termasuk air. Kalo bukan karena Sesil, gue baru-baru bisa menyebabkan kebakaran hebat di kampung yang akan menggemparkan seluruh jagad raya.
"Ehm..."
"Memangnya Akang tau bedain antara garam dan gula?" tanya Stella
"Ehm...."
"Trus tau masak air enggak?"
"Eh,,, Itu..."
"Terus tau berapa diameter panci yang dipakai? Bagaimana dengan sudut memotong ikan yang baik?"
"Heh! Memangnya gue harus perlu tau sampe sedetil itu?!"
"Hehehe"
Ugh... Bakal banyak kejadian aneh dan konyol yang terjadi kalau gue terlibat dalam memasak. Dapur pun bisa berbubah jadi lebih buruk dan kacau balau daripada medan perang.
Pengen tau seperti apa kondisi dapur kalo gue memasak? Bayangkan aja medan perang dimana ada pembunuhan masal, peluru melayang, potongan-potongan mayat bertebaran di mana-mana, bunyi tembakan memenuhi udara. Sudah bisa bayangin? Kondisi dapur bahkan lebih buruk daripada itu.
Itulah alasan kenapa Sesil gak mau kalo gue masak. Selain membuat gempar seluruh kampung dengan kebisingan gue, gue juga membuat dapur menjadi lubang neraka yang berpotensi menimbulkan kebakaran hebat cetar membahana bak badai diterjang ombak...
"Akang mandi aja dulu... Nanti Stella yang masak aja"
"Gak. Elu aja yang mandi dulu"
"Jangan... Akang aja mandi dulu"
Ini lama-lama gue dan Stella jadi berantem gara-gara masalah siapa yang mandi duluan. Mungkin... Kami berdua emang gak pernah berantem seumur hidup sih. Paling-palingan cuma saling mengalah doang. Daripada saling mengalah, kami berdua untuk mengambil sebuah keputusan.
Kami mandi bersama-sama. Ada 2 kamar mandi di rumah gue. Satu buat gue, satunya lagi buat Sesil. Berhubung Sesil lagi tidur, jadi Stella pake aja kamar mandinya Sesil. Kebetulan dia juga bawa baju ganti.
Setelah mandi, kami masak. Sebenarnya gue cuma bantuin ambil ini-itu. Adiknya Andi takut nanti kalau gue ikut masak. Akan terjadi reka ulang salah satu medan perang dunia ke-2 versi gue.
Gue sendiri ga mau pusing berapa lama gue dan adinya Andi ini memasak. Dia menaruh makanan di atas meja. Gue pergi membersihkan genteng. Eh, maksudnya... Gue membangunkan Sesil.
"Eh, Kakak" sapa Sesil
"Yo... Makan dulu sono Ses"
"Makan?" Sesil tiba-tiba jadi kaget. "Astaga! Apa ada korban jiwa Kak?" tanya Sesil
"Bukan Kakak yang masak" Gue garuk kepala. "Itu tuh juru masaknya" Gue menunjuk ke Stella yang berdiri di depan pintu.
Sesil menghela napas lega. Gue udah tau apa yang ada di pikirannya. Sesil berjalan ke ruang makan... Lalu.. Kami bertiga breakdance di atas genteng... Ah, maksudnya... Kami bertiga makan. Sesil mengatakan bahwa masakan yang ada itu benar-benar enak.
Itu karena bukan gue yang masak. Hahahaha. Kalo gue yang masak... Mungkin Sesil bakal masuk rumah sakit sekarang. Selesai makan... Sesil ketiduran... Lagi. Gue membawa Sesil ke kamarnya. Dia bahkan belum sempat mandi... Mau gue bangunin tapi gimana kalo dia ketiduran waktu lagi mandi?!
"Akang sayang banget sama Sesil" kata Stella
"Ha iyalah. Satu-satunya yang gue miliki" jawab gue. "Besok hari H kan?" tanya gue.
"Iya"
"Bagaimana persiapannya?" tanya gue
"Screamer... Ternyata dia bisa dance" Stella menahan tawa
"APA?!"
Gue kena serangan tomcat. Bentar, apa hubungannya dengan tomcat? Ah sudahlah. Pokoknya gue kaget setengah hidup (kata "Setengah mati" terlalu mainstream).
"Silvia sama Eneng aja sampe kaget. Tapi dia ngajarinya bagus kok. Sekali ngajar, kita paham"
"Gue kira dia enggak tau dance" keluh gue
"Zano!"
Terdengar suaranya Andi dari teras rumah gue. Gue dan Stella berjalan ke teras. Ketika gue membuka pintu. Lagi-lagi...
BRUAK! Kepala gue kejedos di kayu,... Lagi dan lagi.
"Anton! Udah gue bilang jangan bawa kayu itu lagi!" protes Andi
"Gue takut nanti hilang!" balas Anton
"Bego lu! Mana ada yang nyuri kayu?!" balas Andi
"Diem lu berdua! Adik gue lagi tidur!" gue marah
"Zan, lu lihat adik... Ah di situ rupanya Rin!" Andi menunjuk ke Stella
"Ada apa Kak?" tanya Stella
"Kakak bakal sibuk seharian buat gapura. Jadi hari ini elu sendirian dulu ya?"
"Tidak apa-apa kok"
"Zan, gue titip adik gue di elu ya? Tolong jaga dia baik-baik" pinta Andi
"Iye... Apa lu kata dah"
Gue berdiri. Andi dan Anton pamit. Lagi-lagi, kepala gue kejedos gara-gara kayu. Anton... Kurang ajar lu Ton! Tunggu pembalasan gue.
Jadi gue jalani hari seperti biasa di rumah. Nyapu, bersihin rumah, ngurus Sesil. Kalo tadi pagi Miranda terus nempel sama gue. Kali ini, Stella yang terus nempel sama gue. Apapun yang gue lakukan, dia selalu ngotot untuk bantuin.
Gue nyuruh dia buat istirahat tapi dia sendiri enggak mau kecuali gue juga istirahat. Hanya satu hal aja yang dia enggak bisa lakuin. Bersihin genteng rumah. Gue gak tau kenapa dia gak mau ikutin gue untuk bersihin genteng rumah tapi yang gue tau, dia malah nungguin gue di bawah.
Untung aja Sesil udah bangun. Jadi dia ada temen bermain... Gue heran kenapa adiknya Andi bisa sedekat ini dengan Sesil.
"Maaf, kami belum buka... Lho? Novi?"
"Sesil ketiduran lagi" kata Novi
"Gawat... Mana gue belum selesai bersih-bersih toko lagi!"
"Tenang aja, Rini udah gendongin ke rumah tuh" kata Novi
"Ha? Yang bener?!"
Gue langsung cepet-cepet membersihkan toko. Novi gak tahan dengan debu jadi dia berlari keluar. Setelah gue membersihkan toko, gue langsung mengunci pintu dan berlari kembali ke kampung. Novi? Kebingungan melihat gue.
Gue gak peduli udah berapa jauh gue berlari. Gue sendiri gak tau kenapa gue malah berlari-lari ke rumah. Sekarang gue udah di dalam kampung. Ketika gue sementara berlari. Tiba-tiba ada kayu membentang di depan gue. Gue gak bisa menghindar...
BRUAK!
Gue menabrak kayu itu. Gue langsung jatuh ke tanah. Sakit kampret! Ini siapa lagi yang naruh kayu sembarangan setinggi ini?!
"Ton, udah gue bilang. Kayunya kurang tinggi!" kata Andi
"Kurang tinggi apanya?! Zano aja yang ketinggian!" bantah Anton
"Kayunya yang kurang tinggi kampret!" gue marah
"Bukannya elu yang ketinggian?" tanya Anton
"Heh! Elu yang kependekan!" keluh gue
"Lagian ada apa Zan? Kok lagi terburu-buru? Toko udah lu bersihin?" tanya Andi
"Udah. Udah gue bersihin kok. Elu lihat adik gue enggak?" tanya gue
"Enggak. Elu lihat adik gue enggak?" Andi malah bertanya
"Eh, adik gue mana ya?" tanya Anton
"Elu gak punya adik!" jawab gue dan Andi kompak
"Gue mau ke pulang dulu!"
Gue kembali berlari (tentu aja, tanpa menabrak apa-apa kali ini). Gue membuka pintu rumah cepat-cepat lalu...
BRUAK!
Kampret... Ada yang masang kayu lagi... Kali ini di belakang pintu gue. Menurut analisa gue, yang bisa masuk rumah gue cuma Sesil. Berhubung Stella menggendong Sesil, berarti dia juga masuk. Tapi kayunya itu lho.
"Ah, Akang... Kirain siapa" sapa Stella dari dalam rumah gue
"Siapa yang naruh kayu di sini?" tanya gue dengan muka kusam
"Ah... Itu... Tadi Screamer datang. Dia minta tolong buat mengetes daya tahan kayu ini. Katanya kalo kepalanya Akang kejedos terus kayunya tidak patah. Berarti kayu itu pantas untuk pembuatan gapura yang baru" jawab Stella
"Sekeras itukah kepala gue?" tanya gue
"Paling tidak cukup keras"
"Screamer?! Sejak kapan lu ada di situ?" gue kaget
Screamer melepas kayu dari pintu. Dia memikulnya, membantu gue berdiri. Lalu menepuk jidat gue dengan tangan kanannya.
"Tenang saja. Kepalamu cukup keras... Kau tidak akan apa-apa" Screamer berjalan pergi. Kampret tuh makhluk...
"Akang enggak apa-apa?" Adiknya Andi langsung melihat kepala gue yang kejedos tadi
"Enggak apa-apa kok Neng. Sesil mana?"
"Di dalam. Dia lagi tidur kok di kamarnya"
Gue dan Stella masuk ke dalam. Gue mengetuk pintu kamarnya Sesil. Karena enggak ada panggilan dari dalam. Gue ngintip. Adik kesayangan gue lagi tertidur pulas. Gue enggak mau gangguin dia jadi gue tutup kembali pintu kamar.
Gue menatap ke Stella. Gila, dia enggak kelihatan capek sama sekali. Adiknya Andi memang bener-bener tangguh. Mungkin karena latihan berat yang diajarkan Screamer dari dulu membuatnya lebih kuat daripada cewek-cewek lain di Kawanan.
"Dari seluruh anggota, yang paling bersemangat adalah Sesil" kata Stella "Karena Sesil, kita jadi semangat buat melalui latihan"
"Ehm... Gak capek Neng?" tanya gue
"Ahaha, enggak kok Kang"
"Ya... Kalau begitu... Berhubung udah hampir jam makan pagi. Eneng tidur aja dulu di kamar Akang. Bersih kok dan gak pernah dipake. Akang lebih suka tidur di sofa. Akang mau siapin sarapan"
"Memangnya Akang tau masak?" tanya Stella dengan nada meledek
Mati... Gue gak tau masak. Seluruh warga kampung juga tau kalo gue itu gak bersahabat dengan yang namanya masak-memasak. Gue selalu saja menggosongkan apa saja... Termasuk air. Kalo bukan karena Sesil, gue baru-baru bisa menyebabkan kebakaran hebat di kampung yang akan menggemparkan seluruh jagad raya.
"Ehm..."
"Memangnya Akang tau bedain antara garam dan gula?" tanya Stella
"Ehm...."
"Trus tau masak air enggak?"
"Eh,,, Itu..."
"Terus tau berapa diameter panci yang dipakai? Bagaimana dengan sudut memotong ikan yang baik?"
"Heh! Memangnya gue harus perlu tau sampe sedetil itu?!"
"Hehehe"
Ugh... Bakal banyak kejadian aneh dan konyol yang terjadi kalau gue terlibat dalam memasak. Dapur pun bisa berbubah jadi lebih buruk dan kacau balau daripada medan perang.
Pengen tau seperti apa kondisi dapur kalo gue memasak? Bayangkan aja medan perang dimana ada pembunuhan masal, peluru melayang, potongan-potongan mayat bertebaran di mana-mana, bunyi tembakan memenuhi udara. Sudah bisa bayangin? Kondisi dapur bahkan lebih buruk daripada itu.
Itulah alasan kenapa Sesil gak mau kalo gue masak. Selain membuat gempar seluruh kampung dengan kebisingan gue, gue juga membuat dapur menjadi lubang neraka yang berpotensi menimbulkan kebakaran hebat cetar membahana bak badai diterjang ombak...
"Akang mandi aja dulu... Nanti Stella yang masak aja"
"Gak. Elu aja yang mandi dulu"
"Jangan... Akang aja mandi dulu"
Ini lama-lama gue dan Stella jadi berantem gara-gara masalah siapa yang mandi duluan. Mungkin... Kami berdua emang gak pernah berantem seumur hidup sih. Paling-palingan cuma saling mengalah doang. Daripada saling mengalah, kami berdua untuk mengambil sebuah keputusan.
Kami mandi bersama-sama. Ada 2 kamar mandi di rumah gue. Satu buat gue, satunya lagi buat Sesil. Berhubung Sesil lagi tidur, jadi Stella pake aja kamar mandinya Sesil. Kebetulan dia juga bawa baju ganti.
Setelah mandi, kami masak. Sebenarnya gue cuma bantuin ambil ini-itu. Adiknya Andi takut nanti kalau gue ikut masak. Akan terjadi reka ulang salah satu medan perang dunia ke-2 versi gue.
Gue sendiri ga mau pusing berapa lama gue dan adinya Andi ini memasak. Dia menaruh makanan di atas meja. Gue pergi membersihkan genteng. Eh, maksudnya... Gue membangunkan Sesil.
"Eh, Kakak" sapa Sesil
"Yo... Makan dulu sono Ses"
"Makan?" Sesil tiba-tiba jadi kaget. "Astaga! Apa ada korban jiwa Kak?" tanya Sesil
"Bukan Kakak yang masak" Gue garuk kepala. "Itu tuh juru masaknya" Gue menunjuk ke Stella yang berdiri di depan pintu.
Sesil menghela napas lega. Gue udah tau apa yang ada di pikirannya. Sesil berjalan ke ruang makan... Lalu.. Kami bertiga breakdance di atas genteng... Ah, maksudnya... Kami bertiga makan. Sesil mengatakan bahwa masakan yang ada itu benar-benar enak.
Itu karena bukan gue yang masak. Hahahaha. Kalo gue yang masak... Mungkin Sesil bakal masuk rumah sakit sekarang. Selesai makan... Sesil ketiduran... Lagi. Gue membawa Sesil ke kamarnya. Dia bahkan belum sempat mandi... Mau gue bangunin tapi gimana kalo dia ketiduran waktu lagi mandi?!
"Akang sayang banget sama Sesil" kata Stella
"Ha iyalah. Satu-satunya yang gue miliki" jawab gue. "Besok hari H kan?" tanya gue.
"Iya"
"Bagaimana persiapannya?" tanya gue
"Screamer... Ternyata dia bisa dance" Stella menahan tawa
"APA?!"
Gue kena serangan tomcat. Bentar, apa hubungannya dengan tomcat? Ah sudahlah. Pokoknya gue kaget setengah hidup (kata "Setengah mati" terlalu mainstream).
"Silvia sama Eneng aja sampe kaget. Tapi dia ngajarinya bagus kok. Sekali ngajar, kita paham"
"Gue kira dia enggak tau dance" keluh gue
"Zano!"
Terdengar suaranya Andi dari teras rumah gue. Gue dan Stella berjalan ke teras. Ketika gue membuka pintu. Lagi-lagi...
BRUAK! Kepala gue kejedos di kayu,... Lagi dan lagi.
"Anton! Udah gue bilang jangan bawa kayu itu lagi!" protes Andi
"Gue takut nanti hilang!" balas Anton
"Bego lu! Mana ada yang nyuri kayu?!" balas Andi
"Diem lu berdua! Adik gue lagi tidur!" gue marah
"Zan, lu lihat adik... Ah di situ rupanya Rin!" Andi menunjuk ke Stella
"Ada apa Kak?" tanya Stella
"Kakak bakal sibuk seharian buat gapura. Jadi hari ini elu sendirian dulu ya?"
"Tidak apa-apa kok"
"Zan, gue titip adik gue di elu ya? Tolong jaga dia baik-baik" pinta Andi
"Iye... Apa lu kata dah"
Gue berdiri. Andi dan Anton pamit. Lagi-lagi, kepala gue kejedos gara-gara kayu. Anton... Kurang ajar lu Ton! Tunggu pembalasan gue.
Jadi gue jalani hari seperti biasa di rumah. Nyapu, bersihin rumah, ngurus Sesil. Kalo tadi pagi Miranda terus nempel sama gue. Kali ini, Stella yang terus nempel sama gue. Apapun yang gue lakukan, dia selalu ngotot untuk bantuin.
Gue nyuruh dia buat istirahat tapi dia sendiri enggak mau kecuali gue juga istirahat. Hanya satu hal aja yang dia enggak bisa lakuin. Bersihin genteng rumah. Gue gak tau kenapa dia gak mau ikutin gue untuk bersihin genteng rumah tapi yang gue tau, dia malah nungguin gue di bawah.
Untung aja Sesil udah bangun. Jadi dia ada temen bermain... Gue heran kenapa adiknya Andi bisa sedekat ini dengan Sesil.
******
Akhirnya! Selesai juga membersihkan rumah! Gue mandi lalu makan... Tentu saja, bukan gue yang masak. Sesil yang masak kok. Setelah membereskan tumpukan piring kotor di dapur. Gue duduk di sofa ruang tamu sambil nonton TV. Sesil udah terlanjur ngantuk jadi dia tidur duluan.
Stella? Dia tadi sempet pulang tapi kembali lagi. Bawa sebuah tas malahan. Gue enggak mau jadi kepo tentang apa isi tasnya. Sekarang Stella tepat ada di samping gue. Tak lama kemudian... Dia malah ketiduran sebelah gue.
Besok adalah hari H... Gue lebih penasaran dengan hasilnya ketimbang hal-hal lain. Dan Miranda... Ergh. Tuh makhluk astral bisa enggak berhenti menatap gue dengan senyumannya yang penuh nilai mistis itu dari depan pintu?!
Bersambung
************
Part selanjutnya? Besok adalah hari di mana adu domba bakat dimulai. Apakah yang akan terjadi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar